Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-membuat-related-post-atau-artikel.html#ixzz2DaGDNTf9 Pandawa Putra: Mengukur Akhlaq Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/03/cara-memasang-meta-tag-keyword-dan.html#ixzz2D0LFOyez Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-mengubah-template-blogspot-menjadi.html#ixzz2DaHD0Dmv

Kamis, 16 Februari 2012

Mengukur Akhlaq


Salah satu bentuk kebahagiaan yang sejati adalah ketika kita hanya menggantungkan segala urusan kepada Allah. Bagi orang yang  mengenal Allah dengan baik, dan ia tidak berharap banyak dari selain Allah, itulah salah satu kebahagiaan. Maka bagi kita yang selama ini masih sangat ingin dihargai, masih sangat ingin dihormati, masih sangat ingin dibedakan oleh orang lain, masih sangat ingin diberi ucapan terima kasih ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, atau masih sangat ingin dipuji, maka sebenarnya makin tinggi kebutuhan kita akan penghargaan dari orang lain, itulah yang akan menyempitkan hidup kita.
Barang siapa yang berhasil lepas dari kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dan kita sudah mulai bisa menikmati indahnya memberikan senyuman kepada orang lain bukannya diberi senyuman, atau merasakan nikmatnya bisa menyapa orang lain bukan menunggu disapa, nikmatnya menyalami dan bukan menunggu disalami, semakin kita tidak berharap orang berbuat sesuatu untuk kita, maka inilah fondasi kita dalam menikmati hidup ini. Kenyataan yang ada di masyarakat kita dengan terjadinya beraneka kemunkaran, kezhaliman dan kejahatan, itu disebabkan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk dan tidak kepada Allah.
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah, suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau diutus ke bumi?" Maka jawaban Rasulullah sangat singkat sekali, "Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." Menurut Imam Al Ghazali, “akhlak itu adalah respon spontan terhadap suatu kejadian. Misalnya ketika kita ditimpa sesuatu baik yang menyenangkan ataupun sebaliknya, respon terhadap kejadian itulah yang menjadi alat ukur akhlak kita. Kalau respon spontan kita itu yang keluar adalah kata-kata yang baik, mulia, berarti memang sudah dari dalamlah kemuliaan kita itu. Tanpa harus dipikir banyak, tanpa harus direkayasa, sudah muncul kemuliaan itu.
Sebaliknya kalau kita ditimpa sesuatu pada diri kita, misalnya sandal kita hilang, atau ada orang yang menyenggol, mendengar bunyi klakson yang nyaring lalu tiba-tiba sumpah serapah yang keluar dari mulut kita, maka respon spontan kita itulah yang akan menunjukkan bagaimana akhlak kita.
Maka jika bertemu dengan orang yang meminta sumbangan lalu kita berfikir keras diberi atau tidak. Kita berfikir, kalau dikasih seribu, malu karena nama kita ditulis, kalau diberi lima ribu nanti uang kita habis. Terus... berfikir keras hingga akhirnya kita pun memberinya akan tetapi niatnya sudah bukan lagi karena karena Allah. Padahal keinginan kita semula adalah untuk menolong. Kalau sudah demikian, sebetulnya bukan akhlak dermawan yang muncul.
Saudara-saudaraku sekalian, inilah yang menjadi masalah bagi peradaban kita. Kita mempunyai anak, dia memiliki gelar yang bagus, sekolahnya pun di tempat yang bergengsi, tetapi akhlaknya jelek, maka tidak ada artinya. Seorang pejabat yang bagus karirnya akan tetapi akhlaknya, ...masya Allah, sudah punya isteri tetapi ia dikenal berzina dengan perempuan lain, di kantor ia mengambil harta dengan cara tidak halal, maka jatuhlah ia.
Sekarang ini krisis terbesar kita adalah krisis akhlak. Oleh karena itu, saya sependapat dengan seorang pengusaha terkenal dari Jepang yang mengatakan bahwa jikalau seseorang ingin memimpin perusahaan dengan baik, maka sebetulnya skill atau keahlian itu cukup 10% saja, yang 90% adalah akhlak. Karena akhlak yang baik, orang yang cerdas pun mau bergabung denganya. Mereka merasa aman, merasa tersejahterakan lahir batinnya. Akibatnya, berkumpulah para ahli. Kemudian kepada mereka diberikan motivasi dengan akhlak yang baik maka jadilah sebuah prestasi yang besar. Oleh karena itu sebenarnya kesuksesan itu adalah milik orang yang berakhlak mulia.
Sekedar ilustrasi, suatu saat sedang terjadi dialog antara suami dan isteri. Sang isteri menginginkan anaknya menjadi bintang kelas, akan tetapi sang suami mengatakan bahwa bintang kelas itu bukan alat ukur kesuksesan. Menjadi bintang kelas itu tidak harus, tidak wajib. Yang wajib bagi anak itu adalah memiliki akhlak yang mulia. Apalah artinya ia menjadi bintang kelas apabila kemudian ia jadi terbelenggu oleh keinginan dipuji teman-temannya. Jadi dengki terhadap orang-orang yang pandai dikelasnya, atau menjadi takabbur karena kepandaiannya itu. Apa artinya bintang kelas seperti ini? Lebih baik lagi jika kita bangun mental anak kita lebih bagus. Kalaupun suatu saat ia ditakdirkan menjadi bintang kelas, maka itu adalah buah dari pemikirannya. Sementara itu ia pun sudah siap dengan mentalnya,  tidak dengki, tidak iri. Nilai akhlaq ini tentunya jadi lebih bagus daripada nilai menjadi bintang kelasnya tadi. Apalah artinya anak kita lulus jika kemudian menjadi jalan ujub dan takabbur. Lulus itu hanyalah nilai atau angka-angka.
Saudara-saudara sekalian, inilah yang sepatutnya menjadi bahan pemikiran kita. Kita berbicara seperti ini adalah untuk memikirkan diri kita sendiri. Apakah saya ini berakhlak baik atau tidak? Bagaimana cara melihatnya?Ya, lihat saja kalau kita mendapati masalah. Bagaimana respon spontan kita? Bagaimana struktur kata-kata kita, raut wajah kita? Apakah kita cukup temperamental? Apakah kata-kata kita keji? Itulah diri kita. Kesuksesan dan kegagalan itu bergantung pada hal semacam ini. Bergantung apa yang kita lakukan.
Demikian khutbah yang singkat ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua khususnya anak-anak kita, mudah-mudahan kita diberikan kesehatan dapat berjumpa kembali dengan Ramadlon penuh hikmah, amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar