Salah satu bentuk
kebahagiaan yang sejati adalah ketika kita hanya menggantungkan segala urusan
kepada Allah. Bagi orang yang mengenal Allah dengan baik, dan ia tidak
berharap banyak dari selain Allah, itulah salah satu kebahagiaan. Maka bagi
kita yang selama ini masih sangat ingin dihargai, masih sangat ingin dihormati,
masih sangat ingin dibedakan oleh orang lain, masih sangat ingin diberi ucapan
terima kasih ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, atau masih sangat ingin
dipuji, maka sebenarnya makin tinggi kebutuhan kita akan penghargaan dari orang
lain, itulah yang akan menyempitkan hidup kita.
Barang siapa yang berhasil
lepas dari kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dan kita sudah mulai bisa menikmati
indahnya memberikan senyuman kepada orang lain bukannya diberi senyuman, atau
merasakan nikmatnya bisa menyapa orang lain bukan menunggu disapa, nikmatnya
menyalami dan bukan menunggu disalami, semakin kita tidak berharap orang
berbuat sesuatu untuk kita, maka inilah fondasi kita dalam menikmati hidup ini.
Kenyataan yang ada di masyarakat kita dengan terjadinya beraneka kemunkaran,
kezhaliman dan kejahatan, itu disebabkan karena kita terlalu banyak berharap
kepada makhluk dan tidak kepada Allah.
Saudara-saudaraku yang
dimuliakan Allah, suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya, "Ya Rasulullah,
mengapa engkau diutus ke bumi?" Maka jawaban Rasulullah sangat singkat
sekali, "Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak." Menurut Imam Al Ghazali, “akhlak itu adalah respon
spontan terhadap suatu kejadian. Misalnya ketika kita ditimpa sesuatu baik yang
menyenangkan ataupun sebaliknya, respon terhadap kejadian itulah yang menjadi
alat ukur akhlak kita. Kalau respon spontan kita itu yang keluar adalah
kata-kata yang baik, mulia, berarti memang sudah dari dalamlah kemuliaan kita
itu. Tanpa harus dipikir banyak, tanpa harus direkayasa, sudah muncul kemuliaan
itu.
Sebaliknya kalau kita ditimpa
sesuatu pada diri kita, misalnya sandal kita hilang, atau ada orang yang
menyenggol, mendengar bunyi klakson yang nyaring lalu tiba-tiba sumpah serapah
yang keluar dari mulut kita, maka respon spontan kita itulah yang akan
menunjukkan bagaimana akhlak kita.
Maka jika bertemu dengan
orang yang meminta sumbangan lalu kita berfikir keras diberi atau tidak. Kita
berfikir, kalau dikasih seribu, malu karena nama kita ditulis, kalau diberi
lima ribu nanti uang kita habis. Terus... berfikir keras hingga akhirnya kita
pun memberinya akan tetapi niatnya sudah bukan lagi karena karena Allah. Padahal
keinginan kita semula adalah untuk menolong. Kalau sudah demikian, sebetulnya
bukan akhlak dermawan yang muncul.
Saudara-saudaraku sekalian,
inilah yang menjadi masalah bagi peradaban kita. Kita mempunyai anak, dia
memiliki gelar yang bagus, sekolahnya pun di tempat yang bergengsi, tetapi
akhlaknya jelek, maka tidak ada artinya. Seorang pejabat yang bagus karirnya
akan tetapi akhlaknya, ...masya Allah, sudah punya isteri tetapi ia dikenal
berzina dengan perempuan lain, di kantor ia mengambil harta dengan cara tidak
halal, maka jatuhlah ia.
Sekarang ini krisis
terbesar kita adalah krisis akhlak. Oleh karena itu, saya sependapat dengan
seorang pengusaha terkenal dari Jepang yang mengatakan bahwa jikalau seseorang
ingin memimpin perusahaan dengan baik, maka sebetulnya skill atau
keahlian itu cukup 10% saja, yang 90% adalah akhlak. Karena akhlak yang baik,
orang yang cerdas pun mau bergabung denganya. Mereka merasa aman, merasa
tersejahterakan lahir batinnya. Akibatnya, berkumpulah para ahli. Kemudian
kepada mereka diberikan motivasi dengan akhlak yang baik maka jadilah sebuah
prestasi yang besar. Oleh karena itu sebenarnya kesuksesan itu adalah milik
orang yang berakhlak mulia.
Sekedar ilustrasi, suatu
saat sedang terjadi dialog antara suami dan isteri. Sang isteri menginginkan
anaknya menjadi bintang kelas, akan tetapi sang suami mengatakan bahwa bintang
kelas itu bukan alat ukur kesuksesan. Menjadi bintang kelas itu tidak harus,
tidak wajib. Yang wajib bagi anak itu adalah memiliki akhlak yang mulia. Apalah
artinya ia menjadi bintang kelas apabila kemudian ia jadi terbelenggu oleh
keinginan dipuji teman-temannya. Jadi dengki terhadap orang-orang yang pandai
dikelasnya, atau menjadi takabbur karena kepandaiannya itu. Apa artinya bintang
kelas seperti ini? Lebih baik lagi jika kita bangun mental anak kita lebih
bagus. Kalaupun suatu saat ia ditakdirkan menjadi bintang kelas, maka itu
adalah buah dari pemikirannya. Sementara itu ia pun sudah siap dengan
mentalnya, tidak dengki, tidak iri.
Nilai akhlaq ini tentunya jadi lebih bagus daripada nilai menjadi bintang kelasnya
tadi. Apalah artinya anak kita lulus jika kemudian menjadi jalan ujub dan takabbur.
Lulus itu hanyalah nilai atau angka-angka.
Saudara-saudara sekalian,
inilah yang sepatutnya menjadi bahan pemikiran kita. Kita berbicara seperti ini
adalah untuk memikirkan diri kita sendiri. Apakah saya ini berakhlak baik atau
tidak? Bagaimana cara melihatnya?Ya, lihat saja kalau kita mendapati masalah.
Bagaimana respon spontan kita? Bagaimana struktur kata-kata kita, raut wajah
kita? Apakah kita cukup temperamental? Apakah kata-kata kita keji? Itulah diri
kita. Kesuksesan dan kegagalan itu bergantung pada hal semacam ini. Bergantung
apa yang kita lakukan.
Demikian khutbah yang
singkat ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua khususnya anak-anak kita,
mudah-mudahan kita diberikan kesehatan dapat berjumpa kembali dengan Ramadlon
penuh hikmah, amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar