Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-membuat-related-post-atau-artikel.html#ixzz2DaGDNTf9 Pandawa Putra: Januari 2012 Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/03/cara-memasang-meta-tag-keyword-dan.html#ixzz2D0LFOyez Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-mengubah-template-blogspot-menjadi.html#ixzz2DaHD0Dmv

Jumat, 27 Januari 2012

Pandawa Putra: Sulaiaman al-Qanuni

Pandawa Putra: Sulaiaman al-Qanuni: Perkembangan Hukum Islam di Turki Usmani Pada Mada Sulaiman al-Qanuni (1520-1566) A. Pendahuluan Semula kerajaan Usmani hanya me...

Kamis, 26 Januari 2012

Otentitas Hadis

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman kalsik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya . Berdasarkan bukti histories ini menggambarka bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan perkembangan pengetahuan lainnya.
Menatap prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman  menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Bertolak dari kenyataan ini, Prof. A. Mukti Ali menyebutkan sebagai metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya  sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, temapat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.
Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya) hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.
B.    TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1.    mengetahui definisi ilmu hadits
2.    mengetahui cabang-cabang ilmu hadits serta penjelasannya
3.    mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits
4.    mengetahui otentitas hadits

C.    RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:
1.    Apa definisi ilmu hadits?
2.    Apa saja cabang-cabang ilmu hadits itu?
3.    Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits
4.    bagaimana otentitas hadits Nabi?



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ILMU HADITS
Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak.  Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni illmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya.
Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syariat Islam. Ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadits ada 2. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadits yang dicantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan denga matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.

B.    CABANG-CABANG ILMU HADITS
Menurut Dr. Mustofa As-Siba’i bahwa terdapat disiplin ilmu yang lain dalam kajian tentang sunnah beserta penuturannya,pembelaannya, dan penelitian pangkall dan sumbernya. Abu ‘Abdullah Al-Hakim dalam kitabnya Ma’rifatul ‘Ulum Al-Hadits, merinci  disiplin ini menjadi lima puluh dua  bagian, dan al-Nawawi dalam kitabnya al-Taqrib, merincinya menjadi enam puluh lima  bagian.
Menurut Anwar dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, dijelaskan bahwa  ilmu hadits dibagi menjadi 2, yaitu:
a.    Ilmu Dirayatul Hadits, atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut juga dengan Ilmu Musthalah Hadits
Menurut kata sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul Hadits adalah ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada Shahibur Risalah, junjungan kita Muhammad SAW dari sikap perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya, dan yang sepertinya.
Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya Al-Haditsu wal Muhadditsun, memberikan definisi Ilmu Ushulur Riwayah atau Ilmu Riwayatul Hadits adalah ilmu yang membahas tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, dan keadaan perawi-perawinya dan syarat-syaratnya, macam-macam yang diriwayatkan dan hal-hal yang berhubungan dengan itu.
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek sanadnya, diteliti tentang ke'adilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan  menyampaikan haditsnya serta sanadnya bersambung atau tidak. Sedang dari aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Dalam penjelasannya, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan:
a.    hakikat periwayatan adalah menyampaikan berita dan menyandarkannya kepada orang yang menjadi sumber berita itu.
b.    Syarat-syarat periwayatan adalah syarat-syarat perawi di dalam menerima hal-hal yang diriwayatkan oleh gurunya, apakah dengan jalan mendengar langsung atau dengan jalan ijazah, atau lainnya.
c.    Macam-macam periwayatan, apakah sanadnya itu bersambung-sambung atau putus dan sebagainya.
d.    Hukum-hukumnya, artinya diterima atau ditolaknya apa yang diriwayatkannya itu.
e.    Keadaan perawi dan syarat-syaratnya, yaitu adil tidaknya dan syarat-syarat menjadi perawi baik tatkala menerima hadits maupun menyampaikan hadits.
f.    Macam-macam yang diriwayatkan, ialah apakah yang diriwayatkannya itu berupa hadits Nabi, atsar atau yang lain.
g.    Hal-hal yang berhubungan dengan itu, ialah istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits.
Pemindahan hadits berdasarkan sanadnya kepada orang yang dinisbahkan dilakukan secara riwayat atau khabar dan selainnya.
Syarat-syaratnya memindahkan hadits berdasarkan sanadadalah sebagi berikut: Perawi menerima apa yang diriwayatkan kepadanya melalui salah satu dari cara meriwayatkan Hadis samada melalui pendengaran, pembentangan, ijazah atau sebagainya.
     Bagian-bagiannya: Ittisal (bersambung) serta Ingqita' (terputus) dan sebagainya. 

b.    Ilmu Riwayatul Hadits
Ilmu Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat segala penukilan yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, kehendak, taqrir ataupun berupa sifatnya.
Menurut Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam. Faidahnya : menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya .
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
      Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya,  yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah  ialah:
a.    Ilmu Rijalul Hadits
Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima  hadits.
b.    Ilmu Jarhi wat Ta’dil
Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.
Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.


c.    Ilmu Fannil Mubhammat
Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad.
Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib  itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
d.    Ilmu ‘Ilalil Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits.
Yakni: menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan hadits.
Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama, yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih .


e.    Ilmu Ghoriebil Hadits
Yang dimaksudkan dalam ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
f.    Ilmu Nasikh wal Mansukh
Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits. Jika tidak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh  dan yang terdahulu dinamai mansukh.
g.    Ilmu Talfiqil hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya.
Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
h.    Ilmu Tashif  wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
i.    Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu.
Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
j.    Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain.
Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan “Mukhtalaf Al-Hadits” atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih .

Perkembangan Fiqh Pada Masa Khulafaur Rasyidun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengantar
Bisa dikatakan bahwa tidak ada masalah yang tidak selesai hingga akhir hayat Rasulullah SAW, karena Rasulullah SAW tidak akan meninggal hingga semua masalah tuntas, dan itulah tugas beliau selaku Rasulullah terakhir, menyempurnakan urusan duniawi dan ukhrawi manusia, sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam al-Qur’an,
...              ... 
… pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu … (QS. Al-Maidah: 3)
Memperhatikan perkembangan Syari’ah di masa Rasulullah SAW, dapat dikatakan bahwa Fiqh sebagai sebuah ilmu tersendiri belum ada, dan bahkan makna fiqh yang berkembang ketika itu adalah makna bahasa (etimologi), yaitu pemahaman. Maka siapapun yang memahami agama secara utuh disebut Sahabat(ahli fiqh atau orang yang paham). Meskipun demikian, esensi Fiqh jelas sudah ada di masa Rasulullah SAW, karena kedua sumber utama dari Fiqh sudah muncul, bahkan jika memperhatikan metode Rasulullah SAW dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan, maka bisa dikatakan Rasulullah SAW telah mempraktekkan beragam metode ijtihad yang dikenal belakangan, seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Saddu al-Dzari’ah, memperhatikan Mashlahah dan sebagainya. Dengan kemudian semua hasil ijtihadnya itu masuk dalam kategori Sunnah.

B. Arah Perkembangan Fiqh Masa Khulafaur Rasyidun
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah di tangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini adalah Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad SAW yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Namun permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam yang belum pernah muncul sebelumnya, sehingga kebutuhan umat Islam terhadap fiqh mulai dirasakan.
Memperhatikan perkembangan Syari’ah di masa sahabat, dapat dikatakan bahwa Fiqh sebagai sebuah ilmu belum ada, dan bahkan makna fiqh yang berkembang ketika itu adalah makna bahasa (etimologi), yaitu pemahaman. Maka siapapun yang memahami agama secara utuh disebut Faqih (ahli fiqh atau orang yang paham). Namunpun demikian, esensi Fiqh jelas sudah ada di masa Rasul, karena kedua sumber utama Fiqh sudah muncul, bahkan jika memperhatikan metode Rasul dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan, maka bisa dikatakan Rasul telah mempraktekkan beragam metode ijtihad yang dikenal belakangan, seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Saddu al-Dzari’ah, memperhatikan Mashlahah dan sebagainya.
Masa sahabat adalah segera setelah berakhirnya masa tashri’. Masa ini adalah  embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada masa pen-tashri’-an para sahabat mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk langsung pada Rasulullah SAW, maka pada masa sahabat ini rujukan itu adalah diri mereka sendiri. 
Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu yang berhubungan dengan perkembangan hokum islam, yaitu :
1.    Begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hokum secara lahiriyah yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran maupun Hadis;
2.    Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam al-Quran maupun Hadis, namun ketentuan tersebut dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan  dan persoalan yang dihadapi;
3.    Dalam al-Quran ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas akan tetapi terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam keadaan tertentu maka para sahabat kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat dihadapkan langsung dengan perbedaan dan perpecahan umat, perbedaan pertama yang terjadi adalah yang berhubungan dengan masalah akidah, yaitu tentang wafatnya Rasulullah SAW, ada sebagian kalangan sahabat yang tidak mengakui wafatnya Rasulullah, namun perpecahan ini segera diselesaikan oleh Abu Bakar r.a dengan membacakan firman Allah, surat az-Zumar ayat 30,
•  • • 
30.  Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula).

Kemudian mengucapkan sepotong perkataan yang begitu masyhur: “Siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah mati, dan siapa yang menyembah Allah maka Allah itu hidup dan tidak akan pernah mati”. Perkataan Abu Bakar r.a ini mampu meredam perpecaan yang terjadi saat itu.
Perpecahan umat tidak berhenti sampai di situ, dalam sisi hukum juga terjadi perbedaan yang sangat kuat di kalangan sahabat, yaitu dengan munculnya perbedaan sahabat dalam menyikapi masalah siapa yang berhak menggantikan Rasulullah SAW sebagai khalifah dan mereka juga bersilang pendapat dalam menyikapi timbulnya golongan orang-orang yang enggan membayar zakat dan golongan orang-orang yang murtad.
Perbedaan-perbedaan ini terus terjadi di kalangan sahabat meski dalam skala yang masih kecil. Sebenarnya perbedaan diantara sahabat sudah mulai ada sejak masa Rasulullah SAW hidup, akan tetapi keberadaan Rasulullah SAW bisa menjadikan perbedaan diantara para sahabat tidak begitu terasa karena selalu dengan mudah mendapat solusinya. Di zaman Rasulullah SAW telah dikenal juga bahwa Umar bin Khattab r.a, Abdullah bin Abbas r.a dan Mu’az bin Jabal r.a merupakan tipikal orang-orang yang cenderung logis, sementara Abdullah bin Umar r.a dan Zaid bin Tsabit r.a adalah orang yang cenderung kuat berpegang dengan teks, atau Abu Hurairah r.a yang lebih cenderung sufistik. Dan ketika Rasulullah SAW wafat sementara para sahabat dihadapkan kepada beberapa permasalahan-permasalahan baru yang segera membutuhkan solusi, maka ketika itu embrio-embrio kecenderungan masing-masing sahabat itu terpancing untuk memberikan alternative penyeleseian, dengan sendirinya dalam kadar yang lebih besar dari masa yang sebelumnya.
Pada periode ini, para Sahabat mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam saat itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para Sahabatberusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka Hadis menjadi sumber kedua, dan jika tidak ada landasan yang jelas juga dalam Hadis maka para Sahabatini melakukan ijtihad.
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang Sahabatdari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat Sahabattentang hukum.
Pada masa ini, para Sahabat seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud ketika itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai dasar atau diikuti oleh para Sahabattermasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.
Selanjutnya perluasan (futuhat) Islam terjadi besar-besaran terutama di masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a. Perluasan ini menuntut penyebaran sahabat ke beberapa daerah baru untuk memberikan fatwa dan pengajaran tentang Islam yang benar dan sekaligus menjadi qadli atau hakim yang memutuskan perkara-perkara yang terjadi di daerah-daerah baru tersebut.
Perbedaan kondisi di setiap daerah menyebabkan lahirnya perbedaan masalah yang timbul, kemudian perbedaan masalah ini yang dicoba diantisipasi oleh setiap sahabat di daerah mereka masing-masing. Dengan bekal ilmu yang ditinggalkan Rasulullah SAW ditambah keragaman kecenderungan di atas, maka melahirkan perbedaan sikap diantara para sahabat tersebut. Meskipun demikian di waktu itu perbedaan yang terjadi diantara individu para sahabat itu tanpa disertai sikap fanatik terhadap satu orang sahabat tertentu, dan baru terjadi di dalam lingkup yang belum terlalu luas apalagi mereka semua masih orang Arab asli.
Dalam koridor cara berfatwa, para sahabat tersebut mengerucut menjadi dua golongan, satu golongan yang cenderung menggunakan logika dalam mengolah sumber asli, al-Qura’an dan Sunnah, sehingga mereka banyak mengeluarkan fatwa, dan satu golongan lagi cenderung berhati-hati sekali dalam membaca teks yang ada dan sangat memegang teguh teks-teks tersebut, bahkan ada yang mencela penggunaan logika dalam berfatwa, kondisi ini menyebabkan mereka tidak terlalu suka mengeluarkan fatwa-fatwa. Inilah embrio munculnya dua aliran besar dalam perkembangan Fiqh dan Ijtihad di beberapa dekade berikutnya.
Kalau kita memperhatikan dengan seksema maka sebenarnya dua faktor penting pembentuk dua aliran besar fiqh tersebut, yaitu :
1.    Kondisi dan lingkungan daerah;
2.    Metodologi Sahabat(ahli fiqh) itu sendiri dalam membahas dan menetapkankan hukum.
Dua faktor inilah yang memberikan warna khusus bagi hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh masing-masing sahabat, yang klimaksnya mencerminkan watak daerah tempat fatwa tersebut lahir. Namun semua watak dan warna itu mengerucut kepada dua aliran besar, yaitu Madrasah al-Hadis (aliran tekstual) dan Madrasah ar-Ra’yi (aliran kontekstuan atau logika).
Madrasah al-Hadis berkembang dan berpusat di daerah Hijaz, khususnya Madinah dan menjadikan para sahabat di Madinah sebagai rujukan, sementara Madrasah ar-Ra’yi berpusat di Iraq, khususnya Kufah, dan menjadikan para sahabat di Iraq sebagai rujukan mereka, terutama Abdullah ibnu Mas’ud r.a.
Meskipun demikian sebenarnya ada beberapa orang dari daerah-daerah tersebut yang tidak sepakat dengan corak yang ada di daerah mereka, seperti Rabiah ar-Ra’yi di Madinah yang cenderung kepada aliran Ra’yi, dan Imam Ibnu Sirin dan al-Tsauri di Kufah yang menentang Madrasah ar-Ra’yi.
Untuk lebih jelasnya tentang dua aliran besar tersebut, pemakalah mencoba menampilkan sedikit dari profil keduanya, sehingga kita betul-betul memahami apa yang dibentuk oleh kedua aliran tersebut.

1. Madrasah al-Hadith (Aliran Ahli Hadis – Tekstual)
Sebagaimana terdahulu bahwa aliran ini terkosentrasi di Madinah yang merupakan tempat asal Sunnah dan tempat berkumpulnya para ulama, karena merekalah orang-orang yang paling dekat dan paling mengenal Hadis Rasulullah SAW waktu itu. Diantara pembesar golongan ini dari kalangan sahabat adalah Zaid bin Tsabit r.a, Abdullah bin Umar r.a dan ‘Aisyah r.a.
Aliran ini tidak hanya berkembang di Hijaz, tapi juga meluas ke daerah-daerah Syam, Mesir bahkan Iraq sendiri. Diantara ulama-ulama terkenal yang tergolong terlahir dari aliran ini adalah Amir asy-Sya’bi r.a (tabi’in Kufah), Imam Sufyan ats-Tsauri r.a (tabi’ tabi’in dan ulama Kufah), Imam al-Auza’i r.a (ulama Syam), Yazid bin Habib r.a (ulama Mesir pertama yang mengajak masyarakat Mesir untuk mencurahkan perhatian kepada Hadis), Imam Sa’id ibnu al-Musayyib r.a, Imam Malik r.a, Imam Syafi’i r.a, Imam Ahmad bin Hanbal r.a dan Imam Dawud azh-Zhahiri r.a.

Metodologi Penetapan Hukum Madrasah al-Hadis
Secara umum Fuqaha’ aliran ini yang berdiam di Hijaz berpatokan dan berpegang kuat terhadap teks-teks yang ada, karena mereka memang memiliki teks-teks Hadis yang banyak. Dan mereka sangat enggan memakai logika, karena sedikit sekali permasalahan-permasalahan baru yang timbul di kalangan mereka, hal ini disebabkan juga oleh kesamaan kondisi dan lingkungan yang mereka hadapi dengan kondisi masa Rasulullah SAW. Sedangkan Fuqaha’ mereka yang berada diluar Hijaz lebih ketat lagi dan bahkan menganggap memakai logika sama artinya menggunakan hawa nafsu dalam menetapkan hukum dan mereka menganggap hal tersebut memasukkan sesuatu yang tidak pantas ke dalam agama Allah ini.
Secara terperincinya, jika mereka dihadapkan kepada suatu masalah, langkah pertama yang mereka ambil adalah mencari solusinya di al-Qur’an dan Sunnah, jika mereka mendapatkan pertentangan diantara beberapa Hadis mereka mengadakan kualifikasi dan penilaian terhadap perawi Hadis. Jika tidak ditemukan di dalam Sunnah maka mereka beralih ke Atsar para sahabat. Jika tidak juga ada jawaban baru mereka menggunakan logika atau berhenti dahulu sampai mendapatkan jawaban (tawaqquf). Oleh karena itu ulama-lama kalangan ini tidak suka mempertanyakan sesuatu yang belum terjadi (iftiradh).
Dari gambaran di atas tampak sekali bahwa kelompok Madinah ini sangat berhati-hati dalam berijtihat. Meskipun sudah tidak mendapatkan dasar penyeleseian permasalan dari al-Quran dan Hadis, mereka masih berusaha terus untuk mendapapatkannya. Misalnya dengan mengumpulan orang-orang kemudian dengan menanyakan kepada mereka apakah pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda mengenai masalah tersebut. Jadi kelompok Madinah tidak mau menggunakan ra’yi karena menurut kelompok ini ra’yi tidak ada bedanya dengan hawa nafsuh.
Misalnya ketika Umar bin Khattab menemukan permasalahan maka setelah tidak menemukan dasar penyeleseiannya dari al-Quran dan Hadis maka bertanya kepada orang-orang apakah Abu Bakar pernah memutuskan masalah ini. Kalau pernah maka Umar bin Khattab pun juga memutuskan hal yang sama, begitu seterusnya juga dilakukan oleh Usman bin Affan dan Ali bin Ali Thalib pada masa berikutnya.
Meskipun mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan ra’yi bahkan menyamakannya dengan hawa nafsu, namun secara praktis mereka juga manggunakan ra’yi itu. Mereka mengakui Qiyas dan Ijmak Shahabi yang tentu sumbernya adalah kekuatan ra’yi. Namun mereka sangat berhati-hati atau boleh dikatakan tidak percaya diri dengan hasil ijtihatnya. Hal ini bisa diketahui melalui penyataan Abu Bakar dan Umar bin Khattab,” barang siapa berijtihat dengan ra’yinya maka ini adalah ra’yiku jika benar maka datangnya dari Allah tetapi jika salah maka itu dari saya sendiri.

2. Madrasah ar-Ra’yi (Aliran Ahli Logika – Kontekstual)
Berpusat di Kufah (Iraq) yang juga banyak melahirkan ulama-ulama umat Islam, sehingga bisa disejajarkan dengan Madinah, hanya saja Madinah lebih dulu dikenal sebagai pusat keilmuan. Ada beberapa faktor yang menjadikan Iraq, Kufah khususnya, sebagai ikon penting aliran ini:
1.    Kondisi geografis Iraq yang jauh dari pusat Hadis, sehingga mereka hanya menerima sedikit Hadis karena jumlah sahabat yang pernah datang ke daerah mereka juga tidak banyak, seperti Abdullah ibnu Mas’ud r.a, Ali bin Abi Thalib r.a, Sa’ad bin Abi Waqqash r.a, Abu Musa al-Asy’ari r.a, al-Mughirah bin Syu’bah r.a dan Anas bin Malik r.a;
2.    Iraq merupakan daerah utama perpecahan umat Islam di waktu itu, karena di sanalah lahir dan berkembangnya aliran Syi’ah dan Khawarij. Banyaknya perbedaan inilah kiranya yang menjadikan watak orang Iraq suka berlogika;
3.    Di Iraq juga terjadi kasus-kasus Hadis palsu yang disebarkan oleh orang-orang yang imannya belum mengakar kuat;
4.    Kondisi lingkungan dan pola hidup serta kebiasaan masyarakat Iraq sendiri yang menimbulkan banyaknya permasalahan-permasalahan baru yang tidak ditemukan sebelumnya di masa Rasulullah SAW di Madinah;
5.    Ulama besar dikalangan sahabat yang menjadi panutan mereka adalah Abdullah ibnu Mas’ud r.a yang sangat kagum dan banyak belajar dari cara berfikir Umar bin Khattab r.a dalam menggunakan logika dan mencari ‘ilah (sebab) hukum ketika tidak ditemukan nash (teks).

Diantara ulama-lama besar yang dikategorikan ke dalam aliran ini adalah Alqamah bin Qais an-Nakh’i r.a, al-Aswad bin Zaid an-Nakh’i r.a, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani r.a, Ubaidah bin Amru as-Salmani r.a, Syuraih bin al-Harits al-Qadhi r.a, al-Harits al-A’war r.a, Ibrahim an-Nakh’i r.a, Imam Abu Hanifah an-Nu’man r.a.

Metodologi Penetapan Hukum Dan Karakter Madrasah ar-Ra’yi
Secara umum aliran ini memiliki mainstream bahwa hukum syari’at telah sempurna sebelum wafatnya Rasulullah SAW, syari’at itu bisa diterima akal logika dan syari’at itu terangkum ke dalam beberapa kaedah atau standar dan memiliki ‘ilat (sebab atau alasan) hukum yang baku. Dengan demikian para Fuqaha’ aliran ini berusaha mencari ‘ilat hukum-hukum yang sudah ada itu dan kemudian menjadikannya patokan dalam menetapkan hukum dalam masalah baru sesuai dengan ada atau tidaknya ‘ilat tadi ditemukan di masalah baru tersebut. Prinsip berijtihat seperti inilah yang kemudian dikenal dalam sebuah kaidah hukum Islam “al-hukmu yaduru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman”.
Ciri khusus lain kelompok ini adalah para Fuqaha’-nya tidak takut dalam berfatwa bahkan dalam memperkirakan hal-hal yang belum terjadi (iftiradh), namun meskipun demikian mereka sangat ketat dalam menerima Hadis, karena takut terhadap masuknya Hadis palsu yang banyak beredar di sana. Mereka melakukan pendekatan bahwa watak hokum islam adalah lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang terjadi. 
Berkenaan dengan hal di atas al-Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut jaman dan tempat seperti ‘aqa>id dan ‘iba>da>t, diberikan sepenuhnya terperinci dengan dijelaskan oleh nash-nash yang bersangkutan, maka seorang tidak dibenarkan menambah atau menguranginya. Akan tetapi terhadap hal yang berkembang seiring perkembangan jaman dan tempat, misalnya berbagai kepentingan kemasyarakatan, urusan pilitik dan peperangan, diberikan secara garis besar, agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua jaman dan tempat, juga agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulul amri) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bagaimana proses awal pembentukan mazhab fiqh itu dimulai dari dua aliran besar yang berakar dari para sahabat Rasulullah SAW.












BAB II
Perkembangan Fiqh Masa al-Khulafau al-Rashidun
A. Periode Abu Bakar RA
Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada zaman Rasulullah SAW, hakim dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu’âdz bin Jabal untuk menjadi gubenur dan hakim di Yaman. Hal Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.)
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab . Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
"... وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة"
(... dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar  adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.
Pada saat Umar menjabat sebagai hakim selama lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun yang datang berperkara. Ini dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa Umar adalah orang yang sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih bersifat wara’, baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak terjadinya pertikaian dan pendendaman.
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya. Setiap masalah selalu dirujuk pada Alquran dulu. Apabila tidak ada barulah beliau merujuk pada sunnah Nabi Muhammad SAW, atau keputusan yang pernah diambil Rasulullah SAW. Jika sunnah tidak ada, beliau bertanya kepada sahabat lain khususnya kepada sahabat besar apakah ada yang tahu sunnah yang berkaitan dengan masalah ini. Seumpama ditemukan, maka beliau mengambilnya setelah mencari kebenaran tersebut. Seumpama tidak ditemukan hukum untuk masalah ini di dalam Alquran dan sunnah, beliau berijtihad secara bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd jamâ’î) kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat. Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah yang berhubungan dengan perseorangan.
Walaupun Rasulullah SAW menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku memohon ampun kepada Allah”. 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, apabila Abu Bakar menghadapi suatu masalah atau datang suatu pengaduan suatu perkara kepadanya,  maka untuk mencari jawabannya Beliau menempuh prosedur sebagai berikut :
a.    Mencari di al-Quran, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan al-Quran, jika tidak menemukan ;
b.    Mencari di Sunnah Rasul yang diketahuinya, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Sunnah Rasul tersebut, jika tidak menemukan dengan koleksi hadisnya maka Beliau pergi menanyakan kepada para Sahabat Besar apakah ada Hadis yang menjawab perkara tersebut, jika tidak menemukan ;
c.    Mengumpulkan para Sahabat Besar, kalau terjadi keputusan bersama maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Ijmak Shahabi ini, jika tidak terjadi Ijmak maka pendapat Khalifah yang dipakai, akan tetapi tetap memberlakukan pendapat Shahabat lainnya.

B. Periode Umar bin Khattab RA
Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi.
Umar mengangkat Abu Dardâ’ untuk menjadi hakim di Madinah. Syuraih di Bashrah, sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di Mesir, sedangkan untuk Syam pula diberi hakim tersendiri. Akan tetapi menurut kitab Târîkh al-`Islâm al-Siyâsî, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang Pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Utsman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.
Dalam pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah usaha yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini dibuktikan dengan sebuah riwayat bahwa suatu ketika Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar. Maka beliau menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki itupun memperkarakan Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya dalam keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai kamu memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata: “Aku sungguh kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”. Lalu Umar berkata pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui Alquran, maka jangan kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang ada di Alquran, maka carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di sunnah, berijtihadlah memakai rasio kamu!”.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati seorang hakim . Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.
Sumber hukum yang dipakai Umar RA adalah sama seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak ada, beliau melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama tidak ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada kesepakatan, barulah diputuskan.
Khalifah Umar RA juga pernah memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah pedoman bagi hakim agung dalam menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok. Dustûr ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini adalah seperti yang dicatat oleh Imam al-Mâwardî di dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah:
وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ , فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ , وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ , وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ الْفَهْمَ فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ; وَقِسْ الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ لَهُ بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ أَنْفَى لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ زُورٍ أَوْ ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ الْأَيْمَانِ وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ وَالتَّأَفُّفَ بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ اللَّهُ بِهِ الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ . 
Dikarenakan peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau hudûd itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau penguasa daerah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, apabila Umar bin Khattab RA menghadapi suatu masalah atau datang suatu pengaduan suatu perkara kepadanya,  maka untuk mencari jawabannya Beliau menempuh prosedur sebagai berikut :
a.    Mencari di al-Quran, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan al-Quran, jika tidak menemukan ;
b.    Mencari di Sunnah Rasul yang diketahuinya, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Sunnah Rasul tersebut, jika tidak menemukan dengan koleksi hadisnya maka Beliau pergi menanyakan kepada para Sahabat Besar apakah ada Hadis yang menjawab perkara tersebut, jika tidak menemukan ;
c.    Mencari informasi apakah masalah tersebut diputuskan oleh Abu Bakar, kalu pernah maka Beliau mengambilnya, jika tidak menemukan ;
d.    Mengumpulkan para Sahabat Besar, kalau terjadi keputusan bersama maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Ijmak Shahabi ini, jika tidak terjadi Ijmak maka pendapat Khalifah yang dipakai, akan tetapi tetap memberlakukan pendapat Shahabat lainnya.
e.    Terhadap masalah yang tidak ditemukan nash maka Beliau malukakan Qiyas.

C. Periode Utsman bin Affan RA
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi al-Quran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat. 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, apabila Utsman bin Affan RA menghadapi suatu masalah atau datang suatu pengaduan suatu perkara kepadanya,  maka untuk mencari jawabannya Beliau menempuh prosedur sebagai berikut :
a.    Mencari di al-Quran, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan al-Quran, jika tidak menemukan ;
b.    Mencari di Sunnah Rasul yang diketahuinya, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Sunnah Rasul tersebut, jika tidak menemukan dengan koleksi hadisnya maka Beliau pergi menanyakan kepada para Sahabat Besar apakah ada Hadis yang menjawab perkara tersebut, jika tidak menemukan ;
c.    Mencari informasi apakah masalah tersebut diputuskan oleh Abu Bakar dan Umar, kalu pernah maka Beliau mengambilnya, jika tidak menemukan ;
d.    Mengumpulkan para Sahabat Besar, kalau terjadi keputusan bersama maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Ijmak Shahabi ini, jika tidak terjadi Ijmak maka pendapat Khalifah yang dipakai, akan tetapi tetap memberlakukan pendapat Shahabat lainnya.
e.    Terhadap masalah yang tidak ditemukan nash maka Beliau malukakan Qiyas.

D. Periode Ali bin Abi Thalib RA
Setelah meninggalnya Utsman RA, Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}. .
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:  “لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً”.





















BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.    Pada masa sahabat ilmu fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri belum ada namun secara praktis sudah dilakukan oleh para sahabat. Meskipun demikian istilah fiqh sudah dikenal akan tetapi dalam arti leksikal saja (fiqh artinya memahami), sekali lagi bukan untuk istilah teknis seperti saat ini.
2.    Pada masa sahabat ini muncul dua kelompok besar dalam kecenderungannya mencarikan jalan keluar dari permasalahn yang muncul, yaitu Madrasah al-Hadith dan Madrasah al-Ra’yi.
3.    Madrasah al-Hadith adalah kelompok sahabat yang banyak sekali menerima hadis  dari Rasulullah SAW. Mereka utamanya ada di Madinah, dalam menyeleseikan permasalahan yang dihadapai mereka cenderung memegang teguh teks-teks nash baik al-Quran maupun al-hadith yang banyak mereka ketahui.
4.    Madrasah al-Ra’yi. menurut kelompok ini syari’at itu bisa diterima akal logika dan syari’at itu terangkum ke dalam beberapa kaedah atau standar dan memiliki ‘ilat (sebab atau alasan) hukum yang baku. Dengan demikian para Fuqaha’ aliran ini berusaha mencari ‘ilat hukum-hukum yang sudah ada itu dan kemudian menjadikannya patokan dalam menetapkan hukum dalam masalah baru sesuai dengan ada atau tidaknya ‘ilat tadi ditemukan di masalah baru tersebut.
5.    Pada masa Khulafaur Rasyidun ini metodologi istimbat hukum yang muncul adalah al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ Shahabi, dan Qiyas.

REINTERPRETASI HADIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

A. Pengantar
Hanya laki-laki lah yang dipandang cakap dan mampu mengelola kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan setting sosial seperti itulah, wajar Rasulullah  SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan Hadis  bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera atau sukses.
Kehidupan umat Islam dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, termasuk dalam persoalan nilai yang dijadikan ukuran standar. Akibat
dari perubahan ini, terutama era ilmu pengetahuan dan tekhnologi saat sekarang, hampir segala sesuatu selalu dinilai dengan pertimbangan rasio atau akal. Oleh karena itu, banyak produk hukum Islam, termasuk dalam hal politik kenegaraan tidak bisa diterima begitu saja, karena tidak sesuai dengan pertimbangan akal sehat dan kebutuhan jaman.
Salah satu contoh dari realitas di atas adalah kepemimpinan politik bagi perempuan. Hadis  yang dijadikan landasan bagi ketidakbolehan kepemimpinan politik bagi perempuan dipandang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan kondisi struktur sosial, ekonomi dan tekhnologi.
Menurut Jumhur ulama bahwa syarat yang harus dipenuhi bagi seorang
khalifah (kepala negara) adalah harus laki-laki. Hal tersebut didasarkan pada respon Rasulullah  SAW ketika mendengar berita bahwa masyarakat Persia telah memilih putri Kisra sebagai pemimpin.
Untuk lebih jelas marilah kita melihat Hadis  tentang kepemimpinan wanita tersebut, namun terlebih dahulu kita melakukan takhrij al-Hadith baru kalau sudah ketemu kemudian kita lanjutkan melakukan kritik terhadap Hadis  tersebut.

B. Takhrij al-Hadith
Rasulullah  SAW bersabda :
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال : لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )
Artinya: "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan."

Hadis  serupa juga kita jumpai dalam kitab yang lain, yaitu dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal sebagai berikut :
وقال أبو بكرة قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من يلي أمر فارس قالوا امرأة قال ما أفلح قوم يلي أمرهم امرأة  تعليق شعيب الأرنؤوط : حديث صحيح وهذا إسناد ضعيف لضعف علي بن زيد بن جدعان

C. Isi Kandungan Hadis
Hadis  tersebut dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik. Oleh karenanya banyak ulama yang menyatakan seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah atau presiden.  Sebagaimana diterangkan para ulama di kitab-kitab tafsir.
Misalnya dalam kitab tafsir al-Quran Ibn Kathir  sebagaimana berikut ini.
يقول تعالى: { الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ } أي: الرجل قَيّم على المرأة، أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجَّت { بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ } أي: لأن الرجال أفضل من النساء، والرجل خير من المرأة؛ ولهذَا كانت النبوة مختصة بالرجال وكذلك المُلْك الأعظم؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: "لن يُفلِح قومٌ وَلَّوا أمْرَهُم امرأة" رواه البخاري من حديث عبد الرحمن بن أبي بكرة، عن أبيه.

Juga dalam tafsir al-Qurtubi

روى البخاري من حديث ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم لما بلغه أن أهل فارس قد ملكوا بنت كسرى قال: " لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة " قال القاضى أبو بكر بن العربي: هذا نص في أن المرأة لا تكون خليفة ولا خلاف فيه

Dari kedua kitab tafsir di atas jelas sekali menggambarkan adanya beberapa kelebihan laki-laki atas perempuan. Karena kelebihan-kelebihan itulah sehingga secara otomatis hanya laki-laki yang berhak menjadi pemimpin atau presiden. Sedangkan perempuan tidak sah untuk menjabatnya.
Secara singkat dan konvensional dalam ilmu Hadis , kalau kita menguji keabsahan suatu Hadis , maka kita dapat mengajukan dua kritik yaitu kritik sanad (rawi/mata rantai pembawa Hadis ) dan kritik matan. Menurut hemat saya, kajian terhadap suatu Hadis  yang hanya berpegang pada kedua kritik tersebut belumlah cukup. Kajian Hadis  yang hanya berpegang pada kedua kritik ini akan menghasilkan pemahaman suatu Hadis  yang apa adanya arti Hadis  tersebut. Padahal di sisi lain perkembangan masyarakat di segala bidang terus melaju kencang. Bagaimana mungkin sesuatu yang diam bisa mengikuti yang terus bergerak.
Dalam kajian al-Quran salah hal yang harus diperhatikan untuk mendapat pesan yang sesungguhnya adalah dengan memperhatikan asba>bu al-nuzu>l ayat. Berdasarkan hal ini maka untuk mendapatkan pesan dari suatu teks Hadis  diperlukan satu kritik lagi, yaitu kritik historis, kita harus meneliti latar belakang politis orang yang membawakan Hadis  tersebut dan dalam kondisi masyarakat yang bagaimana ?. Bukankah kritik historis ini juga dibutuhkan  dalam kajian sejarah peradaban, mengapa dalam Hadis  tidak ?.
Akan tetapi realitasnya tetap saja sebaliknya, para ulama tersebut menanggapi Hadis  ini sebagai ketentuan yang bersifat baku dan universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan Hadis , seperti kapasitas diri Rasulullah SAW ketika mengucapkan Hadis , suasana yang melatarbelakangi munculnya Hadis , setting sosial yang melingkupi sebuah Hadis . Padahal, segi-segi ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pemahaman Hadis  secara utuh.
Ada satu hal yang sangat berpengaruh dalam kajian Hadis  tentang kebolehan kepemimpina politik bagi perembuan, yaitu perubahan politik. Menurut saya, wacana perempuan boleh atau tidak boleh menjadi presiden adalah bukan wacana teologis atau wacana syar’iyyah, itu hanya wacana politik. Kalau pun mereka yang anti kepemimpinan perempuan bisa maju menjadi “nomor satu”, itu demi kepentingan politik sesaat mereka saja. Hal ini membuktikan bahwa wacana politik selama ini telah mendominasi wacana keislaman kita. lalu apa bedanya dengan yang dilakukan Mu’tazilah pada masa Abasiyah.
Kedua hal tersebut di atas yang menurut saya menyebabkan kajian Hadis  tentang kebolehan perempuan menjadi presiden kurang akurat, yatu :
1.    Kajian Hadis  yang hanya didasarkan pada kritik sanad dan matan saja, tidak sampai pada kritik historisnya.
2.    kajian Hadis  yang diinterfensi oleh kepentingan politik tertentu.

D. Reinterpretasi Hadis  Kepemimpinan Perempuan

Jumhur ulama memahami Hadis  kepemimpinan politik bagi perempuan secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk Hadis  tersebut di atas pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa perempuan menurut syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, al-Khattabi misalnya, mengatakan hawa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.
Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan Hadis  tersebut berpendapat bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara.  Sementara itu, para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, al-Ghazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara.  Bahkan Sayyid Sabiq mensiyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada Hadis  tersebut sebelumnya.
Dalam memahami Hadis  tersebut, perlu dicermati terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat Hadis  itu disabdakan, atau dengan kata lain harus dilihat latar belakang munculnya Hadis  tersebut di samping juga setting sosial pada saat itu. Oleh karena itu dalam memahami dan mengkaji Hadis  ini mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya.
Sebenarnya jauh sebelum Hadis  tersebut muncul, yakni pada masa awal dakwa islamiah dilakukan oleh Rasulullah  SAW ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu, Rasulullah  SAW pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Rasulullah  SAW adalah Kisra Persia.
Kisah pengiriman surat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Rasulullah telah mengutus Abdullah ibn Huzaifah al-Shami untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan perintah dan pesan diterima oleh pembesar Bahrain.
Setelah membaca surat Rasulullah, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat tersebut kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Rasulullah  Muhammad, Kisra menolak dan bahkan merobek-robek Surat Rasulullah . Menurut riwayat ibn al-Musayyab setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah  kemudian Rasulullah  bersabda," Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu".
Tidak lama kemudian, kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai
pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat Raja. Hingga pada ahkhirya, diangkatlah seoerang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat oleh Rasulullah  SAW) sebagai ratu (Kisra) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepemimpinan. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi Raja Perempuan. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H.
Dari segi seting sosial dapat dikemukakan bahwa menurut tradisi yang berlangung di Persia sebelum itu, jabatan Kepala Negara atau Raja selalu dipegang oleh kaum laki-laki. Sedangkan yang terjadi pada tahun 9 H tersebut adalah menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai Raja bukanlah laki-laki lagi, melainkan perempuan.
Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-laki lah yang dipandang cakap dan mampu mengelola kepentingan masyarakat dan negara.
Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan setting sosial seperti itulah, wajar Rasulullah  SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan Hadis  bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera atau sukses.
Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan dihormati oleh masyarakat, mungkin Rasulullah  SAW yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik bagi perempuan.
Mencari petunjuk Hadis  dengan mengaitkan pada kapasitas Rasulullah  SAW saat menyabdakan Hadis , apakah sebagai seorang Rasul, Kepala Negara, Panglima Perang, Hakim, Tokoh Masyarakat atau seorang pribadi manusia biasa, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mendapatkan maksud Hadis  yang sesungguhnya atau paling tidak mendekatinya, sebagaimana yang dikatakan oleh
Mahmud Syaltut, “ Mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh Rasulullah  SAW dengan mengaitkannya pada fungsi Rasulullah  SAW ketika hal itu dilakukan, sangat besar manfaatnya.”
Berkaitan dengan Hadis  kepemimpinan politik bagi perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Rasulullah  SAW saat menyampaikan Hadis  tersebut bukan dalam kapasitas sebagai Rasulullah  dan Rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa pendapat Rasulullah  SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat Hadis  tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai kepemimpinan itu diserahkan kepada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dengan demikian, Hadis  tentang pernyataan Rasulullah  SAW dalam merespon berita pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara, namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Rasulullah  SAW yang memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Rasulullah  SAW tersebut merupakan do'a agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dikarenakan sikapnya menghina dan memusuhi Islam, sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Rasulullah  SAW oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Rasulullah  SAW yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.
Memaksakan Hadis  yang berbentuk ikhbar (informatif atau berita) ke dalam masalah syari'ah terutama masalah kepemimpinan politik bagi perempuan adalah tindakan yang kurang bijaksana dan kurang kritis serta tidak proporsional.
Selain itu, jika Hadis  tersebut dipahami sebagai pesan dan ketentuan dari Rasulullah  SAW yang mutlak mengenai syarat seorang pemimpin, maka akan terasa janggal, karena peristiwa sebagaimana yang ditunjukkan Hadis  tersebut tidak terjadi di dunia Islam (baca: negara Arab Islam), sehingga tidak mungkin Rasulullah  SAW menyatakan ketentuan suatu syarat bagi pemimpin negara muslim dengan menunjuk fakta yang terjadi di negara waktu masih non muslim.
Kalau Hadis  ini dipaksakan sebagai syarat bagi kepemimpinan politik, termasuk di negara non muslim, maka selain tidak rasional (karena Rasulullah  SAW ikut campur dalam urusan politik negara non muslim) juga tidak faktual. Artinya penetapan syarat pemimpin harus laki-laki, maka bagaimana dengan negara islam saat ini yang sebagian ada yang dipimpin oleh perempuan, namun tetap sukses Margaret Thatcher dari Inggris, Benazir Bhutto dari Pakistan, Aung San Suu Kyi dari Myanmar, Tjut Njak Dhien dari Aceh, Mooryati Soedibyo, Martha Tilaar, dan tentunya Megawati dari Indonesia. Semua adalah para wanita pemimpin yang telah menunjukkan prestasi di bidang yang mereka tekuni. Berarti sabda Rasulullah  SAW ini jelas bertentangan dengan fakta yang ada.
Bahkan dalam al-Qur`an pun dijumpai kisah tentang adanya seorang perempuan yang memimpin negara dan meraih sukses besar, yaitu Ratu Bilqis di negeri Saba’ sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Naml ayat 23:
           
23.  Sesungguhnya Aku menjumpai seorang wanita,   yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Analisis dan kesimpulan seperti ini juga diperkuat dengan tidak diketemukannya sebuah Hadis  pun yang secara jelas (eksplisit) mensyaratkan pemimpin negara harus laki-laki. Ini berarti Hadis  di atas harus dipahami secara kontekstual karena memiliki sifat temporal, yang terikat dengan waktu dan setting daerah tertentu. Sehingga tidak bisa mencakup untuk diberlakukan secara universal untuk seluruh wilayah dan sepanjang masa.
Hadis  tersebut di atas hanya mengungkap fakta tentang kondisi sosial pada saat Hadis  itu diucapkan oleh karena itu juga hanya berlaku untuk kasus negara Persia saat itu saja.













E. Kesimpulan

1.    Meskipun Hadis  larangan kepempimpinan politik bagi perempuan dinilai sahih, ternyata masih dapat didiskusikan.
2.    Di kalangan ulama ada yang tidak sepakat terhadap pemakaian Hadis  tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan politik. Tetapi banyak juga yang menggunakan Hadis  tersebut sebagai argumen untuk menggusur perempuan dari proses pengambilan keputusan (Pemimpin).
3.    Jika ditelaah lebih lanjut, maka Hadis  tersebut mengandung pengertian bayan al-waqi’ atau menungkapan fakta atau realitas yang berkembang pada saat itu, dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan syari’at bahwa syarat pemimpin harus laki-laki.

Sebab Turun Ayat


Al-Quran Al-Karim terbahagi kepada DUA bahagian.

Bahagian Pertama :

Diturunkan tanpa ada sebab-sebab tertentu. Bahagian ini semata-mata diturunkan untuk memberi hidayah kepada manusia, ayat ini banyak terdapat dalam Al-Quran.

Bahagian Kedua:

Diturunkan kerana ada sesuatu sebab yang tertentu. Dan dalam nota ini tidak mungkin memuatkan semua ayat-ayat tersebut. Kalau sudi bacalah kitab
 "لُباَبُ النُّقُوْل فِيْ اَسْبَابِ النُّزُوْل" karangan As-Sayuthi dalam kitab ini terdapat semua ayat yang diturunkan dengan bersebab.


Apakah Yang Dinamakan Sebab An-Nuzul?

Yang dinamakan sebab An-Nuzul ialah apabila berlaku sesuatu perbalahan atau sesuatu peristiwa di zaman Muhammad atau soalan-soalan yang dikemukakan beliau, maka turunlah satu atau beberapa ayat daripada Allah yang berhubung dengan perkara tersebut.

Contohnya :-

1.    Suatu perbalahan telah berlaku di Madinah antara kaum Khazraj disebabkan fitnah dari orang-orang Yahudi yang terkenal dengan hati busuk, sehingga hampir berlaku pertumpahan darah, dan disebabkan perbalahan tersebut turunlah ayat dalam surah Ali Imran ayat 100, Firman Allah Ta’ala :-

يا أيها الذين أمنوا إن تطيعوا  فريق من الذين  أوتوا الكتاب يردوكم من إيمانكم كافرين


“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”

hingga beberapa ayat kemudiannya. Ayat-ayat tersebut semuanya mencemuh perpecahan dan menggalakkan persatuan, kasih sayang dan persefahaman.



2.    Suatu peristiwa telah berlaku hingga melakukan kesalahan besar, iaitu seorang yang sedang mabuk telah menjadi imam sembahyang dan setelah membaca Al-Fatihah, dia pun membaca surah ( قُلْ يآ اَيُّهَا الْكَافِرُونَ ) tetapi oleh kerana ia sedang mabuk lalu ia membaca salah
(قُلْ يآ اَيُّهَا الْكَافِرُونَ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَأَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا اَعْبُدُ). Maka dengan peristiwa ini turunlah ayat  surah An-Nisa’ :-
يا أيها الذين امنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ......

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”

3.    Sebab An-Nuzul itu kadang-kadang disebabkan sesuatu yang merupakan harapan atau keinginan seperti persesuaian kehendak Allah Ta’ala dengan fikiran Sayyidina Umar Ibn Al-Khattab, katanya :-

وَافَقْتُ رَبِّي فِى ثَلاَثَ، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوِ اتَّخَذْناَ مِنْ مَقَامِ اِبْرَاهِيْمَ مَصَلَّى فَنَزَلَتْ ﴿ وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ اِبْرَاهِيْمَ مُصَلَّى ﴾ وَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنَّ نِسَاءَكَ يَدْخُلُ عَلَيْهِنَّ الْبَرُّ وَالْفَاجِرُ فَلَوْ اَمَرْتَهُنَّ اَنْ يَحْتَجِنْنَ. فَنَزَلَتْ آيَةُ الْحِجَابِ    ﴿ يا ايها الذين أمنوا لا تدخلون بيوت النبي إلا أن يؤذن لكم إلى طعام غير ناظرين  اناه﴾
Ertinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228],…"


Dan satu masa berhimpunlah isteri-isteri nabi dan mengadap beliau kerana cemburu, lalu aku pun berkata kepada mereka

(عَسَى رَبُّهُ اِنْ طَلَّقَكُنَّ اَنْ يُبَدِّلَهُ اَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ )
maka turunlah ayat Al-Quran seperti itu juga.


4.    Kadang-kadang sebab An-Nuzul disebabkan pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah s.a.w mengenai perkara yang telah lalu, seperti Firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Kahfi
﴿ وَ يَسْئَلُونَكَ عَنْ ذِى الْقَرْنَيْنِ؟ ﴾

atau mengenai perkara yang telah berlaku seperti FirmanNya dalam surah Al-Israa :-
 ﴿يسألونك  عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم  من العلم إلا قليلا﴾

 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:
"Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."”

atau mengenai perkara yang akan datang seperti FirmanNya dalam surah An-Nazi’at ayat 42-43:-
 ﴿يسألونك عن الساعة إيان مرساها﴾
 (Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan,
kapankah terjadinya?[1552]

[1552]. Kata-kata ini mereka ucapkan adalah sebagai ejekan saja, bukan karena mereka percaya akan hari berbangkit.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (S 79:42,43,44) turun ketika Rasulullah saw. ditanya tentang permulaan qiamat. Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa hanya Allah yang mengetahui waktunya.
(Diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Aisyah.)


5.    Sebab An-Nuzul itu kadang-kadang diturunkan dengan segera dan kadang-kadang turunnya itu terkemudian beberapa ketika kerana ada rahsia atau hikmah disebaliknya. Ini berlaku ketika orang-orang Quraisy bertanya kepada Rasulullah s.a.w mengenai roh, Ashabul Kahfi, dan Dzulkarnain, Rasulullah  menjawab “Besok akan ku ceritakan” tanpa mengatakan “Insya Allah”. Malangnya wahغu terlambat turunnya selama 15 hari, atau 3 hari atau 40 hari, sehingga Rasulullah s.a.w merasa susah hati. Kemudian turunlah jawapan dari Allah diantara kandungangannya ialah memberi petunjuk kepada Rasulullah supaya berada dengan mengatakan Insya Allah apabila berjanji kepada seseorang, iaitu Firman Allah dalam surah Al-Kahfi ayat 23-24 :-
﴿ولا تقولن لشيء إني فاعل غدا إلا إن يشاء الله واذكر ربك إذا نسيت وقل عسى  إن سهديني ربي لاقرب  من هذا رشدا﴾

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, 24. kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"[879]. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini."

Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan. Dan beliau tidak mengucapkan Insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). Tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana Nabi lupa menyebut Insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.



Faedah-Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul

Setengah-setengah orang menyangka tidak begitu berfaedah mempelajari Asbabun Nuzul kerana ia semata-mata merupakan sejarah penurunan Al-Quran. Sebenarnya orang-orang yang menyangka demikian keliru kerana mengetahui Asbabun Nuzul mempunyai faedah yang banyak. Bacalah apa kata ulama di bawah ini:

•    Al-Wahidi ( الوحدى ) mengatakan seseorang itu tidak mungkin mengetahui tafsiran sesuatu ayat tanpa mengetahui latar belakangnya dan sebab-sebab ia diturunkan.

•    Ibnu Daqiq (ابن دقيق العيد  ) mengatakan, mengetahui sebab An-Nuzul adalah satu cara yang kuat untuk memahami makna-makna Al-Quran.

•    Ibnu Taymiyyah pula mengatakan, sebab An-Nuzul boleh membantu untuk memahami ayat Al-Quran. Kerana mengetahui sebab boleh memahami musabab.




Faedah-faedah mengetahui Asbabun Nuzul secara ringkas adalah seperti berikut:

1.    Mengetahui hikmah atau rahsia yang mendorong untuk menyatakan hukum sesuatu perkara secara tepat.

2.    Menolong untuk memahami ayat dan menolak kemusykilan.

3.    Menolak ( توهم الحصر ) yang pada zahir ada ( الحصر ).
4.    Mengkhususkan sesuatu hukum mensyarakkan sebabnya.

5.    Mengenal bahawa sebab An-Nuzul itu tidak keluar dari hukum ayat yang diturunkan apabila ada yang mengkhususkan ayat itu.

6.    Mengetahui ayat yang sebenarnya diturunkan kepada orang yang tertentu.

7.    Senang menghafal dan mudah memahami.





Huraian faedah mengetahui Asbabun Nuzul yang di atas ialah:

Faedah Pertama:

Mengetahui hikmah Allah Ta-ala yang sebenarnya tentang ayat yang diturunkan ini tentu memberi manfaat kepada orang mukmin dan juga yang bukan mukmin.
   
Bagi orang mukmin akan bertambah keimanan dan sangat suka untuk melaksanakan hukum-hukum Allah dan beramal dengan kitab Allah. Kerana ternyata kepada mereka kebanyakan dan keistimewaan yang berhubung dengan hukum-hukum tersebut dan kerana itu jugalah Al-Quran itu diturunkan.

Dan bagi orang yang bukan mukmin pula kiranya dia insaf. Hikmah-hikmah perundangan yang cemerlang itu akan membawa dia kepada iman iaitu ketika dia mengetahui bahawa perundangan Islam itu wujud untuk menjaga kemaslihatan manusia bukan untuk menekan dan menindas mereka.



Faedah yang Kedua:

Menolong memahami ayat dan menolak kerumitan ini dapat diterangkan dalam contoh-contoh di bawah ini:

Contoh Pertama :-

Firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 115 :

﴿ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله إن الله واسع عليم﴾
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
 wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ibnu Umar membacakan ayat ini (S. 2: 115) kemudian menjelaskan peristiwanya sebagai berikut. Ketika Rasulullah S.A.W.  dalam perjalanan  dari  Mekah ke Madinah  shalat  sunnat  di atas kendaraan menghadap sesuai
dengan arah tujuan kendaraannya.
(Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi dan Nasa'i yang bersumber dari Ibnu Umar.)

Ayat ini pada zahirnya menunjukkan bahawa manusia itu harus bersembahyang dan mengadap di mana-mana arah dan tidak wajib menghadapkan badannya ke kiblat sama ada dalam pelayaran atau tidak. Sedangkan maksud ayat ini tidak demikian kerana ia diturunkan mengenai sembahyang sunat dalam pelayaran, atau orang yang sembahyang tidak tahu arah kiblat yang sebenarnya.
   
Buktinya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibn Umar r.a katanya:-

اِنَّ هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ فِي صَلاَةِ الْمُسَافِرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ اَيْنَمَا تُوَجَّهَتْ

Contoh Kedua :-
   
Diriwayatkan dalam sahih Al-Bukhari bahawa Marwan bin Al-Hakam merasa musykil terhadap Firman Allah Ta’ala dalam surah Ali Imran ayat 188 :
﴿لا تحسبن الذين يفرحون بما أتوا ويحسبون أن يحمدون بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب ولهم عذاب أليم﴾
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”

Katanya, sekiranya setiap orang gembira dengan apa yang diberikan dan suka dipuji dengan perkara yang tidak dilakukan itu, maka kita semua akan disiksa. Beliau tetap berasa musykil hingga ibn Abbas r.a menerangkan kepadanya, seraya berkata “Sebenarnya ayat tersebut diturunkan mengenai Ahlul Kitab ketika Rasulullah s.a.w bertanya kepada mereka tentang sesuatu mereka menyembunyikan hukum yang sebenarnya dan menerangkan hukum yang lain. Tetapi berlagak seolah-olah mereka telah menerangkan hukum yang betul, di samping itu mereka meminta puji pula apa yang telah mereka lakukan, maka dengan penerangan itu hilanglah kemusykilan Marwan bin Al-Hakam.”




Contoh Ketiga :-

Arwah bin Az-Zubair r.a merasa musykil tentang maksud Firman Allah Ta'ala dalam surah al-Baqarah ayat 158 :-

﴿إن الصفا والمروة من شعائر الله فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بها﴾

Ertinya:
Sesungguhnya Safa dan Marwa adalah dari syariat Allah sesiapa yang menunaikan haji atau umrah tidaklah salah untuk tawaf pada keduanya

Zahir ayat ini menunjukkan bahawa bersa'ie antara Safa dan Marwah tidak wajib. Lalu ‘Arwah pun bertanya kepada Mak Ciknya Ummul Mu'minin Aishah r.a. Wahai Mak Cik, Allah Ta'ala berfirman ( فَلاَ جُنَاحَ عليه ان يَطَّوَّفَ بِهِمَا ) saya memahamkan bahawa manusia tidak wajib bersa'ie di antara Safa dan Marwah. Ummul Mu'minin Aishah lalu menerangkan bahawa orang-orang arab di zaman Jahiliyyah mengerjakan sa'ie di antara Safa dan Marwah dan mengerjakan Haji untuk berhala ( اساف ) di bukit Safa, berhala       (نائلة  ) di bukit Marwah.

Apabila orang-orang Arab memeluk agama Islam, setengah-setengah sahabat merasa enggan bersa'ie takut bercampur aduk dengan ibadat orang-orang jahiliyyah. Maka dengan itu turunlah ayat tersebut menolak sangkaan mereka, dan ayat mewajibkan orang-orang Islam bersa'ie kerana Allah bukan kerana berhala lagi. Dengan keterangan Aishah r.a itu maka hilanglah kemusykilan Arwah.



Faedah yang Ketiga:

Menolak "توهم الحصر" daripada ayat yang pada zahir ada "الحصر" seperti Firman Allah Ta'ala dalam surah al-Anaam ayat 145 :
﴿ قل لا أجد من ما أوحي إلى محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا  أو لحم خنزير فإنه رجس أو فسقا أهل لغسر الله به ﴾
Ertinya:
 “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Imam Syafi'ie berpendapat bahawa (    الحصر) dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan. Kerana ia diturunkan disebabkan keingkaran mengikut ajaran Allah dan RasulNya. Mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Kerana kedegilan dan penentangan mereka kepada Allah dan rasulNya maka turunlah ayat tersebut dengan gambaran الحصر sebagai penentangan daripada Allah dan rasulNya kepada orang-orang kafir itu. Bukanlah tujuan الحصر yang sebenarnya. Seolah-olah Allah Ta'ala berfirman hanya yang haram itu ialah apa yang kamu halalkan daripada bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih tidak kerana Allah. Dan Allah tidak bermaksud untuk menghalalkan benda-benda itu, kerana tujuan ayat itu ialah mensabitkan haram bukan mensabitkan halal.


Faedah yang Ke Empat:

Mengkhususkan sesuatu hukum memandangkan sebab-sebabnya iaitu bagi yang berpendapat ( اِنَّ الْعِبْرَةَ بِخُصُوصِ السَّبَبِ لاَبِعُمُوْمِ اللَّفْظِ ) seperti Firman Allah Ta'ala :-
﴿ لقد سمع الله التي تجادلك في زوجها وتشتكي إلى الله والله يسمع تحاوركما إن الله سميع البصير الذين يظاهرون ......﴾
Ertinya:
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat [1461]. 2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Sebab turunnya ayat ini ialah berhubungan dengan persoalan seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah dizhihar oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya: Kamu bagiku seperti punggung ibuku dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah kalimat zhihar seperti itu sudah sama dengan menthalak isteri. Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Rasulullah menjawab, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah. Dan pada riwayat yang lain Rasulullah mengatakan: Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia. Lalu Khaulah berkata: Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak Kemudian Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya.

Sebab turunnya ayat ini ialah Aus Bin As-Samat telah menziharkan isterinya Khaulah binti Hakim. Dan hukum yang terkandung dalam ayat ini adalah khas untuk mereka yang berduda. Mengikut pendapat ini selain daripada mereka berdua diketahui dengan dalil yang lain secara kias. Dan memang nyata sekali bahawasanya tidak menunaikan maksud hukum itu dan kias kecuali mengetahui sebab-sebab ia diturunkan.


Faedah yang Ke Lima:

Untuk mengetahui bahawa sebab nuzul ayat tidak terkeluar dari hukum itu sendiri walaupun ada Mukhasas ( مخصص ). Kerana ijmak ulama telah menghukumkan sebab An-Nuzul kekal dan tidak boleh dibantah. Jadi itu hanya untuk yang lain daripada yang menjadi sebab An-Nuzul.

Sekiranya tidak diketahui sebab nuzulnya nescaya boleh difahamkan bahawasanya ia adalah dari hukum yang boleh dikecualikan dengan sebab ada takhsis. Sedangkan ia tidak boleh dikecualikan sama sekali kerana sudah menjadi ijmak. Oleh itu Imam Al-Ghazali telah menyalahkan Abu Hanifah Rahimahullah kerana beliau telah mengecualikan (الأمة المستفرشة) atau hamba yang ditiduri daripada sabda Rasulullah (الولد للفراش وللعاهد الحجر) sedangkan hadith itu sebenarnya disabdakan pada anak  zim’ah (زمعة) dari hamba perempuannya. Kerana kata seorang hamba anak zimah (زمعة) dia adalah saudaraku dan anak hamba bapaku. Dia dilahirkan di atas katil ayahku. Maka berkatalah Rasulullah s.a.w hadith tersebut. Dan hadith tersebut mensabitkan berseketiduran bagi hamba perempuan, sedangkan Abu Hanifah tidak sampai kepadanya sebab hadith tersebut.




Faedah yang Ke Enam:

Untuk mengetahui kepada siapa yang sebenarnya ayat itu diturunkan supaya tidak terkeliru dengan orang lain, kelak akan tertuduh orang yang tidak bersalah sedangkan orang yang disyaki itu lepas bebas.

Oleh yang demikian Ummul Mu'minin Aishah telah menolak tuduhan Marwan yang telah menuduh saudaranya Ummul Mu'minin iaitu Abdur Rahman bin Abi Bakar As-Siddiq katanya beliaulah yang menyebabkan ayat ini diturunkan:-
﴿والذين قال لوالديه أف لكما﴾
 Surah Al-Ahqaaf

Ertinya:
Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar." Lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka." –


Aishah berkata : ( وَالله مَا هُوَ بِهِ وَلَوْ شِئْتَ اَنْ اُسَمِّيَهُ لَسَمَّيْتُهُ ).




Faedah yang Ke Tujuh:

Untuk senang menghafalnya dan mudah memahaminya serta dapat mengukuhkan wahyu di dalam hati tiap-tiap orang yang mendengarkan ayat itu kalau dia tahu sebab ia diturunkan kerana hubungan yang kukuh antara sebab dan musabab, antara hukum dan peristiwa dan sebagainya.


Cara Mengetahui Sebab An-Nuzul:
   
Satu-satunya jalan untuk mengetahui Asbabun Nuzul ialah hadith yang sahih daripada Nabi s.a.w, sabdanya :-
اِتَّقُوا الْحَدِيْثَ اِلاَّ مَا عَلِمْـتُمْ فَاِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّا مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
 وَ مَنْ كَذَبَ عَلَى الْقُرآنِ مِنْ غَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّا مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Daripada hadith tersebut dapat diketahui bahawasanya tidak bercakap tentang Asbabun Nuzul kecuali dengan riwayat yang sahih daripada orang-orang yang menyaksikan sebab-sebab ayat itu diturunkan. Oleh itu, kalau sebab An-Nuzul itu diriwayatkan dari seorang sahabi maka riwayat itu diterima. Sekalipun tidak disokong oleh riwayat yang lain, kerana perkataan sahabi bukan medan ijtihad. Hukumnya ialah hukum marfuk sampai pada Nabi Muhammad s.a.w. Dan kerana jauh sekali seorang sahabi itu bercakap spontan daripada dirinya sendiri.

Tetapi kalau sebab An-Nuzul itu diriwayatkan dengan hadith mursal, hukumnya tidak boleh diterima kecuali apabila disokong dengan hadith mursal yang lain dan rawinya pula hendaklah terdiri daripada ahli-ahli tafsir yang mengambil dari sahabat seperti Mujahid, Akramah dan Sa'eid bin Jabir.


Perkataan-Perkataan Yang Digunakan Untuk Menerangkan Sebab An-Nuzul:
   
Berbagai-bagai ibarat digunakan oleh ulama tentang sebab An-Nuzul, iaitu sebagai berikut:

Pertama :-
Dengan lafaz yang sarih atau nyata dengan menggunakan perkataan sebab. Seperti       (سبب  نزول الآية كذا) ibarat ini sebagai nas tentang sebab ayat itu diturunkan.

Kedua :-
Dengan memasukkan huruf Fa' kepada perkataan Nuzul Al-Ayat selepas menyebutkan sesuatu peristiwa. Seperti yang diriwayatkan oleh Jabir katanya:

كَانَتِ الْيَهُوْدُ تَقُوْلُ مَنْ اَتَى امْرَاَةً مِنْ دُبُرِهَا (فِيْ قُبُلِهَا) جَاءَ الْوَلَدُ اَحْوَالَ فَاَنْزَلَ اللهُ :
﴿ نِسَاءُوكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَاْتُوا حَرْثَكُمْ اَنَّى شِئْتُمْ ..﴾
البقرة 233

Ibarat ini juga katanya sebagai nas mengenai sebab ayat itu diturunkan.



Ketiga :-
Dengan cara soalan yang dikemukakan kepada Nabi s.a.w lalu turun wahyu sebagai menjawap soalan itu. Seperti Firman Allah dalam surah al-Israa’ :-

﴿يسألونك  عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم  من العلم إلا قليلا﴾
Ibarat ini juga merupakan nas mengenai sebab ayat itu diturunkan.


Keempat :-
Kadang-kadang tidak menyebutkan ibarat-ibarat yang tiga di atas tadi seperti :-
" نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِيْ كَذَا ". Ibarat ini tidak merupakan nas semata-mata bahkan boleh jadi mengandungi keterangan tentang hukum yang terkandung di dalam ayat itu, Qarinahnya atau hubungannya mensabitkan salah satu daripada dua kemungkinan atau menyokongnya.

Dari situ dapatlah kita mengetahui bahawa apabila ada dua ibarat dalam satu mauduk maka salah satu adalah merupakan nas tentang sebab ayat itu diturunkan dan yang satu lagi bukan merupakan nas. Dalam hal ini kita mengambil sebab ayat itu diturunkan sebagai nas dan lain kita ambil sebagai keterangan untuk maksud ayat. Kerana keterangan nas itu lebih kuat daripada yang muhtamal . Contohnya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Jabir :

كَانَتِ الْيَهُوْدُ تَقُوْلُ مَنْ اَتَى امْرَاَةً مِنْ دُبُرِهَا (فِيْ قُبُلِهَا) جَاءَ الْوَلَدُ اَحْوَالَ فَاَنْزَلَ اللهُ :
﴿ نِسَاءُوكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَاْتُوا حَرْثَكُمْ اَنَّى شِئْتُمْ ..﴾
البقرة 233)

Ibn Umar r.a pula meriwayatkan:

اُنْزِلَتْ نِسَاءُوكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ ....... فِيْ اِتْيَان النِّسَاءِ فِى أَدْبَارِهِنَّ

Riwayat yang pertama merupakan sebab An-Nuzul dan riwayat yang kedua adalah sebagai keterangan hukum menyetubuhi isteri dari belakang, iaitu haram.

Tetapi kalau perselisihan itu berkisar di antara dua ibarat atau di antara beberapa ibarat yang bukan nas mengenai turunnya ayat maka ibarat itu hanyalah merupakan keterangan sahaja bukan nas mengenai sebab turunnya ayat, seperti kata setengah-setengah mufassiriin (  هَذِهِ الآيَة فِى كَذَا  ) atau
 ( نَزَلَتْ فِى كَذَا  ).

Jumat, 20 Januari 2012

Sulaiaman al-Qanuni

Perkembangan Hukum Islam di Turki Usmani
Pada Mada Sulaiman al-Qanuni (1520-1566)







A.  Pendahuluan

Semula kerajaan Usmani hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, tetapi dengan dukungan militer yang kuat, tidak beberapa lama Usmani menjadi sebuah kerajaan besar.  Kemajuan dan perkemangan ekspansi kerajaan Turki Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat diikuti pula dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang kehidupan yang lain. Di antaranya adalah bidang keagamaan. Namun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kemajuan Turki di bidang keagamaan khususnya tentang perkembangan hukum Islam.
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan politik. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama. Kerajaan sendiri sangat terikat dengan syari’at sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Oleh karena itu ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat. Tanpa legitimasi mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.
Menurut Harun Nasution perkembangan hukum Islam di Turki dibagi menjadi tiga periode besar yaitu periode awal (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800 sampai sekarang).
Pada periode awal, syari’at Islam dilaksanakan dengan murni sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah. Sedangkan pada periode pertengahan sudah ada usaha untuk memasukkan hukum Islam ke dalam perundang-undangan negara, Khalifah menyerukan untuk membuat  suatu undang-undang yang diambil dari Al-Quran  dan Sunnah yang berlaku untuk semua negeri. Kebijakan Khalifah ini biasa disebut sebagai taqnin.  
Kebijakan tersebut di atas, didasari setelah melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dan perbedaan putusan di kalangan hakim-hakim dalam memutuskan suatu persoalan yang sama.
Namun kebijakan taqnin  tetap berjalan dengn dikeluarkan pula Undang-Undang Keluarga (Qanun ‘Ailat) pada tahun 1326, yang dikhususkan untuk masalah-masalah kawin dan putusnya perkawinan.  Dalam Undang-Undang ini, banyak ketentuan-ketentuannya yang tidak diambil dari madzhab Hanafi, seperti tidak sahnya perkawinan orang yang dipaksa dan tidak sahnya talaq yang dijatuhkannya.
Pada akhir periode pertengahan mulai muncul pemikiran pembaharuan. Hal ini karena mulai adanya penetrasi Barat (Eropa) terhadap dunia Islam.  Namun ide-ide pembaharuan itu mendapat tantangan dari kaum ulama, karena bertentangan dengan faham tradisionalis yang terdapat di kalangan umat Islam. Kaum ulama dalam menentang usaha tersebut menjalin kerjasama dengan Yeniseri.  Hal ini membuat kurang berhasilnyausaha pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani.
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era kemunduran yaitu runtuhnya kekuasaan Bani Abasiyah di Baghdad.   Berawal dari kerajaan kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.  Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun). 
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz  yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II. 
Artogol dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota. 
Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.

B. Biografi Singkat Sulaiman al-Qanuni 
Sultan Sulaiman dilahirkan pada 6 Nopember 1494 di bandar Tabzron, Turki. Sejak usia 7 tahun, beliau telah dididik dengan ilmu kesusasteraan, sains, sejarah, teologi & taktik ketenteraan di istana Topkapi, Istanbul. Beliau juga di masa kecilnya berkawan erat sekali dengan seorang budak yang bernama Ibrahim Pasha yang kemudiannya menjadi penasihat dan panglima tentera yang paling dipercayainya pada masa pemerintannya. Pada usia 17 tahun, beliau menjadi Gubernur Istanbul dan kemudian diangkat menjadi Sultan pada usia 25 tahun setelah ayahnya, yaitu Sultan Salim I meninggal dunia.

C. Kejayaan di Bidang Luasnya Wilayah
Setelah diangkat menjadi sultan kerajaan Turki Usmaniyah, Sultan Sulaiman memulai kepemimpinannya dengan memantapkan kekuatan militer. Dengan bermodalkan kekuatan militer ini didahului dengan menghentikan kekacauan di Damaskus pada 1521. Kemudian di tahun yang sama beliau menyerang Hongaria yang dikuasai oleh Louis II sejak 1516, dalam pertempuran tersebut Sulaiman berhasil mendapatkan kemenangan dan berhasil menguasai Hongaria. Setelah menguasai daerah sebelah utara Sulaiman menuju selatan dan berhasil menguasai pulau Rhodes pada tahun 1522. Sulaiman terus melanjutkan ekspansinya meneruskan cita-cita ayahnya yaitu menguasai Eropa Barat.
Sulaiman telah melakukan 13 kali misi ekspansi, 10 kali di Eropa dan 3 kali di Asia. Wilayah kekuasaannya mulai dari sungai Sava i sebelah utara hingga sungai Nil di sebelah selatan. Dari Caucasus di sebelah timur hingga gunung Atlas di sebelah barat. Dalam sejarah Turki Usmani belum ada sultan yang melebihi kemulian dari Sultan Sulaiman ini.
Sultan Sulaiman merupakan tokoh negarawan Islam yang terulung di zamannya. Dikagumi kawan dan lawan, Sultan Sulaiman berjaya menyebarkan Islam sehingga ke rantau Balkan di Eropah meliputi Hungary, Belgrade, Austria, benua Afrika dan Teluk Parsi. Dilahirkan di Trabzon. Seawal usia tujuh tahun, beliau telah dididik dengan ilmu kesusasteraan, sains, sejarah, teologi & taktik ketenteraan di Istana Topkapi, Istanbul. Di barat, beliau dikenali dengan nama Sulaiman The Magnificent (Sulaiman yang Hebat). Kebesaran nama Sulaiman dapat juga diketahui melalui ucapannya,” Saya adalah Sultan dari segala Sultan, Raja dari segala Raja, Pemberi mahkota kepada Raja-Raja di muka bumi”. 

D. Kejayaan di Bidang Pemerintahan
Sulaiman merupakan seorang Sultan yang mementingkan hak rakyat tanpa melihat pangkat dan darjat. Bahkan di bawah pemerintahan Sultan Sulaiman ini, umat Islam dan orang Yahudi dapat hidup dengan aman dan damai. Beliau mengangkat para Gubernur dari orang-orang yang jujur yang dipilihnya sendiri. Beliau sangat ketat dalam menentukan calon Gubernur ini, sehingga benar-benar mendapatkan orang-orang yang bersih.
Pada masa pemerintahan Sulaiman ini semua kewenangan pejabat diatur dan dibatasi oleh undang-undang (Qanun), sehingga tidak ada lagi pejabat yang sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Ini mungkin dikarenakan disamping karena ada undang-undang itu sendiri juga disebabkan karena seleksi pejabat yang ketat di atas. Sehingga yang menjadi pejabat memang dasarnya sudah orang bersih.
Di antara undang-undang yang berhasil disusun pada masa itu adalah undang-undang yang mengatur tentang organisasi ketentaraan, undang-undang harta, undang-undang kepolisihan, dan undang-undang pertanahan.
Sulaiman memberi tugas kepada Ibrahim al-Halabi seorang imam masjid jamik Muhammad al-Fatih, untuk menyusun kitab undang-undang yang diberi nama al-Multaqau al-Abhur  yang artinya pertemuan laut-laut yang melambang betapa luasnya wilayah kekuasaan Turki Usmani. Kitab tersebut merupakan salah satu kitab terpenting dalam madzhab Hanafi danmenjadi rujukan bagi para Hakim.
Beliau digelar Al-Qanuni kerana jasanya dalam mengkaji dan menyusun semula sistem undang-undang kerajaan Bani Turki Usmaniyah dan perlaksanaannya secara teratur dan tanpa kompromi berikutan keadaan masyarakat Islam Turki Usmaniyah ketika itu mempunyai latar belakang dan sosial budaya yang berbeda. Pergaulan antara bangsa yang berbeda  (walaupun agama yang sama) membuatkan pelbagai konflik kecil yang berlaku & ini boleh menggugat keselamatan umat Islam. Keadaan ini menyebabkan beliau membuat penyusunan & kajian tentang budaya masyarakat Islam Turki Usmaniyah yang datang dari Eropah, Parsi, Afrika & Asia Tengah untuk diselaraskan dengan kehendak undang-undang Syariah Islamiyah.
Masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal mewakafkan harta untuk kepentingan agama dan umum. Sulaiman seorang yang bertindak adil, senang bekerjasama dan toleran, sehingga masyarakat merasa tentram. Segala tindak tanduk aparatur negara diatur oleh Unadang-undang.
Masa pemerintahan Sulaiman I (1520-1566 M) merupakan puncak kejayaan daripada kerajaan Turki Usmani. Beliau terkenal dengan sebutan Sulaiman Agung atau Sulaiman Al-Qanuni . Akan tetapi setelah beliau wafat sedikit demi sedikit Turki Usmani mengalami kemunduran. Setelah Sulaiman meninggal Dunia, terjadilah perebutan kekuasaan antara putera-puteranya, yang nenyebabkan kerajaan Turki Usmani mundur akan tetapi meskipun terus mengalami kemunduran kerajaan ini untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai militer yang tangguh. Kerajaan ini memang masih bertahan lima abad lagi setelah sepeninggalnya Sultan Sulaiman 1566 M.
Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.  Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banyak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadli-qadli wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadli-qadli wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.  Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada madzhab Hanafi.  Hal ini yang disebabkan madzhab yang dipakai oleh Sultan adalah madzhab Hanafi.
Adapun bentuk-bentuk peradilan pada masa ini adalah sebagai berikut :
1.    Mahkamah Biasa (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.    Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.    Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.    Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan. 

E. Kesimpulan
1.    Sulaiman al-Qanuni  memerintah mulai 1520 – 1566 M atau selama 46 tahun, sehingga termasuk periode pertengahan dalam perkebangan hukum islam di Turki Usmani.
2.    Sejarah mencatat masa Sulaiman al-Qanuni  adalah sebagai puncak kejayaan Turki Usmani yang meliputi kejayaan luasnya wilayah dan kejayaan di bidang Pemerintahan.
3.    Perkembangan hukum islam pada masa ini, Pemerintah mengeluarkan kebijakan taqnin, Qonun dilaksanakan dengan baik. Oleh karena jasanya ini Sulaiaman mendapat gelar al-Qanuni .