Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-membuat-related-post-atau-artikel.html#ixzz2DaGDNTf9 Pandawa Putra: Perkembangan Fiqh Pada Masa Khulafaur Rasyidun Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/03/cara-memasang-meta-tag-keyword-dan.html#ixzz2D0LFOyez Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-mengubah-template-blogspot-menjadi.html#ixzz2DaHD0Dmv

Kamis, 26 Januari 2012

Perkembangan Fiqh Pada Masa Khulafaur Rasyidun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengantar
Bisa dikatakan bahwa tidak ada masalah yang tidak selesai hingga akhir hayat Rasulullah SAW, karena Rasulullah SAW tidak akan meninggal hingga semua masalah tuntas, dan itulah tugas beliau selaku Rasulullah terakhir, menyempurnakan urusan duniawi dan ukhrawi manusia, sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam al-Qur’an,
...              ... 
… pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu … (QS. Al-Maidah: 3)
Memperhatikan perkembangan Syari’ah di masa Rasulullah SAW, dapat dikatakan bahwa Fiqh sebagai sebuah ilmu tersendiri belum ada, dan bahkan makna fiqh yang berkembang ketika itu adalah makna bahasa (etimologi), yaitu pemahaman. Maka siapapun yang memahami agama secara utuh disebut Sahabat(ahli fiqh atau orang yang paham). Meskipun demikian, esensi Fiqh jelas sudah ada di masa Rasulullah SAW, karena kedua sumber utama dari Fiqh sudah muncul, bahkan jika memperhatikan metode Rasulullah SAW dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan, maka bisa dikatakan Rasulullah SAW telah mempraktekkan beragam metode ijtihad yang dikenal belakangan, seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Saddu al-Dzari’ah, memperhatikan Mashlahah dan sebagainya. Dengan kemudian semua hasil ijtihadnya itu masuk dalam kategori Sunnah.

B. Arah Perkembangan Fiqh Masa Khulafaur Rasyidun
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah di tangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini adalah Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad SAW yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Namun permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam yang belum pernah muncul sebelumnya, sehingga kebutuhan umat Islam terhadap fiqh mulai dirasakan.
Memperhatikan perkembangan Syari’ah di masa sahabat, dapat dikatakan bahwa Fiqh sebagai sebuah ilmu belum ada, dan bahkan makna fiqh yang berkembang ketika itu adalah makna bahasa (etimologi), yaitu pemahaman. Maka siapapun yang memahami agama secara utuh disebut Faqih (ahli fiqh atau orang yang paham). Namunpun demikian, esensi Fiqh jelas sudah ada di masa Rasul, karena kedua sumber utama Fiqh sudah muncul, bahkan jika memperhatikan metode Rasul dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan, maka bisa dikatakan Rasul telah mempraktekkan beragam metode ijtihad yang dikenal belakangan, seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Saddu al-Dzari’ah, memperhatikan Mashlahah dan sebagainya.
Masa sahabat adalah segera setelah berakhirnya masa tashri’. Masa ini adalah  embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada masa pen-tashri’-an para sahabat mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk langsung pada Rasulullah SAW, maka pada masa sahabat ini rujukan itu adalah diri mereka sendiri. 
Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu yang berhubungan dengan perkembangan hokum islam, yaitu :
1.    Begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hokum secara lahiriyah yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Quran maupun Hadis;
2.    Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam al-Quran maupun Hadis, namun ketentuan tersebut dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan  dan persoalan yang dihadapi;
3.    Dalam al-Quran ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas akan tetapi terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam keadaan tertentu maka para sahabat kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat dihadapkan langsung dengan perbedaan dan perpecahan umat, perbedaan pertama yang terjadi adalah yang berhubungan dengan masalah akidah, yaitu tentang wafatnya Rasulullah SAW, ada sebagian kalangan sahabat yang tidak mengakui wafatnya Rasulullah, namun perpecahan ini segera diselesaikan oleh Abu Bakar r.a dengan membacakan firman Allah, surat az-Zumar ayat 30,
•  • • 
30.  Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula).

Kemudian mengucapkan sepotong perkataan yang begitu masyhur: “Siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah mati, dan siapa yang menyembah Allah maka Allah itu hidup dan tidak akan pernah mati”. Perkataan Abu Bakar r.a ini mampu meredam perpecaan yang terjadi saat itu.
Perpecahan umat tidak berhenti sampai di situ, dalam sisi hukum juga terjadi perbedaan yang sangat kuat di kalangan sahabat, yaitu dengan munculnya perbedaan sahabat dalam menyikapi masalah siapa yang berhak menggantikan Rasulullah SAW sebagai khalifah dan mereka juga bersilang pendapat dalam menyikapi timbulnya golongan orang-orang yang enggan membayar zakat dan golongan orang-orang yang murtad.
Perbedaan-perbedaan ini terus terjadi di kalangan sahabat meski dalam skala yang masih kecil. Sebenarnya perbedaan diantara sahabat sudah mulai ada sejak masa Rasulullah SAW hidup, akan tetapi keberadaan Rasulullah SAW bisa menjadikan perbedaan diantara para sahabat tidak begitu terasa karena selalu dengan mudah mendapat solusinya. Di zaman Rasulullah SAW telah dikenal juga bahwa Umar bin Khattab r.a, Abdullah bin Abbas r.a dan Mu’az bin Jabal r.a merupakan tipikal orang-orang yang cenderung logis, sementara Abdullah bin Umar r.a dan Zaid bin Tsabit r.a adalah orang yang cenderung kuat berpegang dengan teks, atau Abu Hurairah r.a yang lebih cenderung sufistik. Dan ketika Rasulullah SAW wafat sementara para sahabat dihadapkan kepada beberapa permasalahan-permasalahan baru yang segera membutuhkan solusi, maka ketika itu embrio-embrio kecenderungan masing-masing sahabat itu terpancing untuk memberikan alternative penyeleseian, dengan sendirinya dalam kadar yang lebih besar dari masa yang sebelumnya.
Pada periode ini, para Sahabat mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam saat itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para Sahabatberusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka Hadis menjadi sumber kedua, dan jika tidak ada landasan yang jelas juga dalam Hadis maka para Sahabatini melakukan ijtihad.
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang Sahabatdari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat Sahabattentang hukum.
Pada masa ini, para Sahabat seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud ketika itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai dasar atau diikuti oleh para Sahabattermasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.
Selanjutnya perluasan (futuhat) Islam terjadi besar-besaran terutama di masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a. Perluasan ini menuntut penyebaran sahabat ke beberapa daerah baru untuk memberikan fatwa dan pengajaran tentang Islam yang benar dan sekaligus menjadi qadli atau hakim yang memutuskan perkara-perkara yang terjadi di daerah-daerah baru tersebut.
Perbedaan kondisi di setiap daerah menyebabkan lahirnya perbedaan masalah yang timbul, kemudian perbedaan masalah ini yang dicoba diantisipasi oleh setiap sahabat di daerah mereka masing-masing. Dengan bekal ilmu yang ditinggalkan Rasulullah SAW ditambah keragaman kecenderungan di atas, maka melahirkan perbedaan sikap diantara para sahabat tersebut. Meskipun demikian di waktu itu perbedaan yang terjadi diantara individu para sahabat itu tanpa disertai sikap fanatik terhadap satu orang sahabat tertentu, dan baru terjadi di dalam lingkup yang belum terlalu luas apalagi mereka semua masih orang Arab asli.
Dalam koridor cara berfatwa, para sahabat tersebut mengerucut menjadi dua golongan, satu golongan yang cenderung menggunakan logika dalam mengolah sumber asli, al-Qura’an dan Sunnah, sehingga mereka banyak mengeluarkan fatwa, dan satu golongan lagi cenderung berhati-hati sekali dalam membaca teks yang ada dan sangat memegang teguh teks-teks tersebut, bahkan ada yang mencela penggunaan logika dalam berfatwa, kondisi ini menyebabkan mereka tidak terlalu suka mengeluarkan fatwa-fatwa. Inilah embrio munculnya dua aliran besar dalam perkembangan Fiqh dan Ijtihad di beberapa dekade berikutnya.
Kalau kita memperhatikan dengan seksema maka sebenarnya dua faktor penting pembentuk dua aliran besar fiqh tersebut, yaitu :
1.    Kondisi dan lingkungan daerah;
2.    Metodologi Sahabat(ahli fiqh) itu sendiri dalam membahas dan menetapkankan hukum.
Dua faktor inilah yang memberikan warna khusus bagi hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh masing-masing sahabat, yang klimaksnya mencerminkan watak daerah tempat fatwa tersebut lahir. Namun semua watak dan warna itu mengerucut kepada dua aliran besar, yaitu Madrasah al-Hadis (aliran tekstual) dan Madrasah ar-Ra’yi (aliran kontekstuan atau logika).
Madrasah al-Hadis berkembang dan berpusat di daerah Hijaz, khususnya Madinah dan menjadikan para sahabat di Madinah sebagai rujukan, sementara Madrasah ar-Ra’yi berpusat di Iraq, khususnya Kufah, dan menjadikan para sahabat di Iraq sebagai rujukan mereka, terutama Abdullah ibnu Mas’ud r.a.
Meskipun demikian sebenarnya ada beberapa orang dari daerah-daerah tersebut yang tidak sepakat dengan corak yang ada di daerah mereka, seperti Rabiah ar-Ra’yi di Madinah yang cenderung kepada aliran Ra’yi, dan Imam Ibnu Sirin dan al-Tsauri di Kufah yang menentang Madrasah ar-Ra’yi.
Untuk lebih jelasnya tentang dua aliran besar tersebut, pemakalah mencoba menampilkan sedikit dari profil keduanya, sehingga kita betul-betul memahami apa yang dibentuk oleh kedua aliran tersebut.

1. Madrasah al-Hadith (Aliran Ahli Hadis – Tekstual)
Sebagaimana terdahulu bahwa aliran ini terkosentrasi di Madinah yang merupakan tempat asal Sunnah dan tempat berkumpulnya para ulama, karena merekalah orang-orang yang paling dekat dan paling mengenal Hadis Rasulullah SAW waktu itu. Diantara pembesar golongan ini dari kalangan sahabat adalah Zaid bin Tsabit r.a, Abdullah bin Umar r.a dan ‘Aisyah r.a.
Aliran ini tidak hanya berkembang di Hijaz, tapi juga meluas ke daerah-daerah Syam, Mesir bahkan Iraq sendiri. Diantara ulama-ulama terkenal yang tergolong terlahir dari aliran ini adalah Amir asy-Sya’bi r.a (tabi’in Kufah), Imam Sufyan ats-Tsauri r.a (tabi’ tabi’in dan ulama Kufah), Imam al-Auza’i r.a (ulama Syam), Yazid bin Habib r.a (ulama Mesir pertama yang mengajak masyarakat Mesir untuk mencurahkan perhatian kepada Hadis), Imam Sa’id ibnu al-Musayyib r.a, Imam Malik r.a, Imam Syafi’i r.a, Imam Ahmad bin Hanbal r.a dan Imam Dawud azh-Zhahiri r.a.

Metodologi Penetapan Hukum Madrasah al-Hadis
Secara umum Fuqaha’ aliran ini yang berdiam di Hijaz berpatokan dan berpegang kuat terhadap teks-teks yang ada, karena mereka memang memiliki teks-teks Hadis yang banyak. Dan mereka sangat enggan memakai logika, karena sedikit sekali permasalahan-permasalahan baru yang timbul di kalangan mereka, hal ini disebabkan juga oleh kesamaan kondisi dan lingkungan yang mereka hadapi dengan kondisi masa Rasulullah SAW. Sedangkan Fuqaha’ mereka yang berada diluar Hijaz lebih ketat lagi dan bahkan menganggap memakai logika sama artinya menggunakan hawa nafsu dalam menetapkan hukum dan mereka menganggap hal tersebut memasukkan sesuatu yang tidak pantas ke dalam agama Allah ini.
Secara terperincinya, jika mereka dihadapkan kepada suatu masalah, langkah pertama yang mereka ambil adalah mencari solusinya di al-Qur’an dan Sunnah, jika mereka mendapatkan pertentangan diantara beberapa Hadis mereka mengadakan kualifikasi dan penilaian terhadap perawi Hadis. Jika tidak ditemukan di dalam Sunnah maka mereka beralih ke Atsar para sahabat. Jika tidak juga ada jawaban baru mereka menggunakan logika atau berhenti dahulu sampai mendapatkan jawaban (tawaqquf). Oleh karena itu ulama-lama kalangan ini tidak suka mempertanyakan sesuatu yang belum terjadi (iftiradh).
Dari gambaran di atas tampak sekali bahwa kelompok Madinah ini sangat berhati-hati dalam berijtihat. Meskipun sudah tidak mendapatkan dasar penyeleseian permasalan dari al-Quran dan Hadis, mereka masih berusaha terus untuk mendapapatkannya. Misalnya dengan mengumpulan orang-orang kemudian dengan menanyakan kepada mereka apakah pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda mengenai masalah tersebut. Jadi kelompok Madinah tidak mau menggunakan ra’yi karena menurut kelompok ini ra’yi tidak ada bedanya dengan hawa nafsuh.
Misalnya ketika Umar bin Khattab menemukan permasalahan maka setelah tidak menemukan dasar penyeleseiannya dari al-Quran dan Hadis maka bertanya kepada orang-orang apakah Abu Bakar pernah memutuskan masalah ini. Kalau pernah maka Umar bin Khattab pun juga memutuskan hal yang sama, begitu seterusnya juga dilakukan oleh Usman bin Affan dan Ali bin Ali Thalib pada masa berikutnya.
Meskipun mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan ra’yi bahkan menyamakannya dengan hawa nafsu, namun secara praktis mereka juga manggunakan ra’yi itu. Mereka mengakui Qiyas dan Ijmak Shahabi yang tentu sumbernya adalah kekuatan ra’yi. Namun mereka sangat berhati-hati atau boleh dikatakan tidak percaya diri dengan hasil ijtihatnya. Hal ini bisa diketahui melalui penyataan Abu Bakar dan Umar bin Khattab,” barang siapa berijtihat dengan ra’yinya maka ini adalah ra’yiku jika benar maka datangnya dari Allah tetapi jika salah maka itu dari saya sendiri.

2. Madrasah ar-Ra’yi (Aliran Ahli Logika – Kontekstual)
Berpusat di Kufah (Iraq) yang juga banyak melahirkan ulama-ulama umat Islam, sehingga bisa disejajarkan dengan Madinah, hanya saja Madinah lebih dulu dikenal sebagai pusat keilmuan. Ada beberapa faktor yang menjadikan Iraq, Kufah khususnya, sebagai ikon penting aliran ini:
1.    Kondisi geografis Iraq yang jauh dari pusat Hadis, sehingga mereka hanya menerima sedikit Hadis karena jumlah sahabat yang pernah datang ke daerah mereka juga tidak banyak, seperti Abdullah ibnu Mas’ud r.a, Ali bin Abi Thalib r.a, Sa’ad bin Abi Waqqash r.a, Abu Musa al-Asy’ari r.a, al-Mughirah bin Syu’bah r.a dan Anas bin Malik r.a;
2.    Iraq merupakan daerah utama perpecahan umat Islam di waktu itu, karena di sanalah lahir dan berkembangnya aliran Syi’ah dan Khawarij. Banyaknya perbedaan inilah kiranya yang menjadikan watak orang Iraq suka berlogika;
3.    Di Iraq juga terjadi kasus-kasus Hadis palsu yang disebarkan oleh orang-orang yang imannya belum mengakar kuat;
4.    Kondisi lingkungan dan pola hidup serta kebiasaan masyarakat Iraq sendiri yang menimbulkan banyaknya permasalahan-permasalahan baru yang tidak ditemukan sebelumnya di masa Rasulullah SAW di Madinah;
5.    Ulama besar dikalangan sahabat yang menjadi panutan mereka adalah Abdullah ibnu Mas’ud r.a yang sangat kagum dan banyak belajar dari cara berfikir Umar bin Khattab r.a dalam menggunakan logika dan mencari ‘ilah (sebab) hukum ketika tidak ditemukan nash (teks).

Diantara ulama-lama besar yang dikategorikan ke dalam aliran ini adalah Alqamah bin Qais an-Nakh’i r.a, al-Aswad bin Zaid an-Nakh’i r.a, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani r.a, Ubaidah bin Amru as-Salmani r.a, Syuraih bin al-Harits al-Qadhi r.a, al-Harits al-A’war r.a, Ibrahim an-Nakh’i r.a, Imam Abu Hanifah an-Nu’man r.a.

Metodologi Penetapan Hukum Dan Karakter Madrasah ar-Ra’yi
Secara umum aliran ini memiliki mainstream bahwa hukum syari’at telah sempurna sebelum wafatnya Rasulullah SAW, syari’at itu bisa diterima akal logika dan syari’at itu terangkum ke dalam beberapa kaedah atau standar dan memiliki ‘ilat (sebab atau alasan) hukum yang baku. Dengan demikian para Fuqaha’ aliran ini berusaha mencari ‘ilat hukum-hukum yang sudah ada itu dan kemudian menjadikannya patokan dalam menetapkan hukum dalam masalah baru sesuai dengan ada atau tidaknya ‘ilat tadi ditemukan di masalah baru tersebut. Prinsip berijtihat seperti inilah yang kemudian dikenal dalam sebuah kaidah hukum Islam “al-hukmu yaduru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman”.
Ciri khusus lain kelompok ini adalah para Fuqaha’-nya tidak takut dalam berfatwa bahkan dalam memperkirakan hal-hal yang belum terjadi (iftiradh), namun meskipun demikian mereka sangat ketat dalam menerima Hadis, karena takut terhadap masuknya Hadis palsu yang banyak beredar di sana. Mereka melakukan pendekatan bahwa watak hokum islam adalah lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang terjadi. 
Berkenaan dengan hal di atas al-Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut jaman dan tempat seperti ‘aqa>id dan ‘iba>da>t, diberikan sepenuhnya terperinci dengan dijelaskan oleh nash-nash yang bersangkutan, maka seorang tidak dibenarkan menambah atau menguranginya. Akan tetapi terhadap hal yang berkembang seiring perkembangan jaman dan tempat, misalnya berbagai kepentingan kemasyarakatan, urusan pilitik dan peperangan, diberikan secara garis besar, agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua jaman dan tempat, juga agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulul amri) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bagaimana proses awal pembentukan mazhab fiqh itu dimulai dari dua aliran besar yang berakar dari para sahabat Rasulullah SAW.












BAB II
Perkembangan Fiqh Masa al-Khulafau al-Rashidun
A. Periode Abu Bakar RA
Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada zaman Rasulullah SAW, hakim dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu’âdz bin Jabal untuk menjadi gubenur dan hakim di Yaman. Hal Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.)
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab . Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
"... وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة"
(... dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar  adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.
Pada saat Umar menjabat sebagai hakim selama lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun yang datang berperkara. Ini dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa Umar adalah orang yang sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih bersifat wara’, baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak terjadinya pertikaian dan pendendaman.
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya. Setiap masalah selalu dirujuk pada Alquran dulu. Apabila tidak ada barulah beliau merujuk pada sunnah Nabi Muhammad SAW, atau keputusan yang pernah diambil Rasulullah SAW. Jika sunnah tidak ada, beliau bertanya kepada sahabat lain khususnya kepada sahabat besar apakah ada yang tahu sunnah yang berkaitan dengan masalah ini. Seumpama ditemukan, maka beliau mengambilnya setelah mencari kebenaran tersebut. Seumpama tidak ditemukan hukum untuk masalah ini di dalam Alquran dan sunnah, beliau berijtihad secara bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd jamâ’î) kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat. Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah yang berhubungan dengan perseorangan.
Walaupun Rasulullah SAW menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku memohon ampun kepada Allah”. 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, apabila Abu Bakar menghadapi suatu masalah atau datang suatu pengaduan suatu perkara kepadanya,  maka untuk mencari jawabannya Beliau menempuh prosedur sebagai berikut :
a.    Mencari di al-Quran, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan al-Quran, jika tidak menemukan ;
b.    Mencari di Sunnah Rasul yang diketahuinya, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Sunnah Rasul tersebut, jika tidak menemukan dengan koleksi hadisnya maka Beliau pergi menanyakan kepada para Sahabat Besar apakah ada Hadis yang menjawab perkara tersebut, jika tidak menemukan ;
c.    Mengumpulkan para Sahabat Besar, kalau terjadi keputusan bersama maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Ijmak Shahabi ini, jika tidak terjadi Ijmak maka pendapat Khalifah yang dipakai, akan tetapi tetap memberlakukan pendapat Shahabat lainnya.

B. Periode Umar bin Khattab RA
Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi.
Umar mengangkat Abu Dardâ’ untuk menjadi hakim di Madinah. Syuraih di Bashrah, sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di Mesir, sedangkan untuk Syam pula diberi hakim tersendiri. Akan tetapi menurut kitab Târîkh al-`Islâm al-Siyâsî, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang Pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Utsman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.
Dalam pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah usaha yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini dibuktikan dengan sebuah riwayat bahwa suatu ketika Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar. Maka beliau menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki itupun memperkarakan Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya dalam keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai kamu memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata: “Aku sungguh kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”. Lalu Umar berkata pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui Alquran, maka jangan kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang ada di Alquran, maka carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di sunnah, berijtihadlah memakai rasio kamu!”.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati seorang hakim . Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.
Sumber hukum yang dipakai Umar RA adalah sama seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak ada, beliau melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama tidak ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada kesepakatan, barulah diputuskan.
Khalifah Umar RA juga pernah memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah pedoman bagi hakim agung dalam menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok. Dustûr ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini adalah seperti yang dicatat oleh Imam al-Mâwardî di dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah:
وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ , فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ , وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ , وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ الْفَهْمَ فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ; وَقِسْ الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ لَهُ بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ أَنْفَى لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ زُورٍ أَوْ ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ الْأَيْمَانِ وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ وَالتَّأَفُّفَ بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ اللَّهُ بِهِ الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ . 
Dikarenakan peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau hudûd itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau penguasa daerah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, apabila Umar bin Khattab RA menghadapi suatu masalah atau datang suatu pengaduan suatu perkara kepadanya,  maka untuk mencari jawabannya Beliau menempuh prosedur sebagai berikut :
a.    Mencari di al-Quran, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan al-Quran, jika tidak menemukan ;
b.    Mencari di Sunnah Rasul yang diketahuinya, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Sunnah Rasul tersebut, jika tidak menemukan dengan koleksi hadisnya maka Beliau pergi menanyakan kepada para Sahabat Besar apakah ada Hadis yang menjawab perkara tersebut, jika tidak menemukan ;
c.    Mencari informasi apakah masalah tersebut diputuskan oleh Abu Bakar, kalu pernah maka Beliau mengambilnya, jika tidak menemukan ;
d.    Mengumpulkan para Sahabat Besar, kalau terjadi keputusan bersama maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Ijmak Shahabi ini, jika tidak terjadi Ijmak maka pendapat Khalifah yang dipakai, akan tetapi tetap memberlakukan pendapat Shahabat lainnya.
e.    Terhadap masalah yang tidak ditemukan nash maka Beliau malukakan Qiyas.

C. Periode Utsman bin Affan RA
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi al-Quran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat. 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, apabila Utsman bin Affan RA menghadapi suatu masalah atau datang suatu pengaduan suatu perkara kepadanya,  maka untuk mencari jawabannya Beliau menempuh prosedur sebagai berikut :
a.    Mencari di al-Quran, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan al-Quran, jika tidak menemukan ;
b.    Mencari di Sunnah Rasul yang diketahuinya, kalau mendapatkan jawabannya maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Sunnah Rasul tersebut, jika tidak menemukan dengan koleksi hadisnya maka Beliau pergi menanyakan kepada para Sahabat Besar apakah ada Hadis yang menjawab perkara tersebut, jika tidak menemukan ;
c.    Mencari informasi apakah masalah tersebut diputuskan oleh Abu Bakar dan Umar, kalu pernah maka Beliau mengambilnya, jika tidak menemukan ;
d.    Mengumpulkan para Sahabat Besar, kalau terjadi keputusan bersama maka Beliau memutuskan dengan ketetapan Ijmak Shahabi ini, jika tidak terjadi Ijmak maka pendapat Khalifah yang dipakai, akan tetapi tetap memberlakukan pendapat Shahabat lainnya.
e.    Terhadap masalah yang tidak ditemukan nash maka Beliau malukakan Qiyas.

D. Periode Ali bin Abi Thalib RA
Setelah meninggalnya Utsman RA, Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}. .
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:  “لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً”.





















BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.    Pada masa sahabat ilmu fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri belum ada namun secara praktis sudah dilakukan oleh para sahabat. Meskipun demikian istilah fiqh sudah dikenal akan tetapi dalam arti leksikal saja (fiqh artinya memahami), sekali lagi bukan untuk istilah teknis seperti saat ini.
2.    Pada masa sahabat ini muncul dua kelompok besar dalam kecenderungannya mencarikan jalan keluar dari permasalahn yang muncul, yaitu Madrasah al-Hadith dan Madrasah al-Ra’yi.
3.    Madrasah al-Hadith adalah kelompok sahabat yang banyak sekali menerima hadis  dari Rasulullah SAW. Mereka utamanya ada di Madinah, dalam menyeleseikan permasalahan yang dihadapai mereka cenderung memegang teguh teks-teks nash baik al-Quran maupun al-hadith yang banyak mereka ketahui.
4.    Madrasah al-Ra’yi. menurut kelompok ini syari’at itu bisa diterima akal logika dan syari’at itu terangkum ke dalam beberapa kaedah atau standar dan memiliki ‘ilat (sebab atau alasan) hukum yang baku. Dengan demikian para Fuqaha’ aliran ini berusaha mencari ‘ilat hukum-hukum yang sudah ada itu dan kemudian menjadikannya patokan dalam menetapkan hukum dalam masalah baru sesuai dengan ada atau tidaknya ‘ilat tadi ditemukan di masalah baru tersebut.
5.    Pada masa Khulafaur Rasyidun ini metodologi istimbat hukum yang muncul adalah al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ Shahabi, dan Qiyas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar