Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-membuat-related-post-atau-artikel.html#ixzz2DaGDNTf9 Pandawa Putra: REINTERPRETASI HADIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/03/cara-memasang-meta-tag-keyword-dan.html#ixzz2D0LFOyez Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-mengubah-template-blogspot-menjadi.html#ixzz2DaHD0Dmv

Kamis, 26 Januari 2012

REINTERPRETASI HADIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

A. Pengantar
Hanya laki-laki lah yang dipandang cakap dan mampu mengelola kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan setting sosial seperti itulah, wajar Rasulullah  SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan Hadis  bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera atau sukses.
Kehidupan umat Islam dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, termasuk dalam persoalan nilai yang dijadikan ukuran standar. Akibat
dari perubahan ini, terutama era ilmu pengetahuan dan tekhnologi saat sekarang, hampir segala sesuatu selalu dinilai dengan pertimbangan rasio atau akal. Oleh karena itu, banyak produk hukum Islam, termasuk dalam hal politik kenegaraan tidak bisa diterima begitu saja, karena tidak sesuai dengan pertimbangan akal sehat dan kebutuhan jaman.
Salah satu contoh dari realitas di atas adalah kepemimpinan politik bagi perempuan. Hadis  yang dijadikan landasan bagi ketidakbolehan kepemimpinan politik bagi perempuan dipandang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan kondisi struktur sosial, ekonomi dan tekhnologi.
Menurut Jumhur ulama bahwa syarat yang harus dipenuhi bagi seorang
khalifah (kepala negara) adalah harus laki-laki. Hal tersebut didasarkan pada respon Rasulullah  SAW ketika mendengar berita bahwa masyarakat Persia telah memilih putri Kisra sebagai pemimpin.
Untuk lebih jelas marilah kita melihat Hadis  tentang kepemimpinan wanita tersebut, namun terlebih dahulu kita melakukan takhrij al-Hadith baru kalau sudah ketemu kemudian kita lanjutkan melakukan kritik terhadap Hadis  tersebut.

B. Takhrij al-Hadith
Rasulullah  SAW bersabda :
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال : لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )
Artinya: "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan."

Hadis  serupa juga kita jumpai dalam kitab yang lain, yaitu dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal sebagai berikut :
وقال أبو بكرة قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من يلي أمر فارس قالوا امرأة قال ما أفلح قوم يلي أمرهم امرأة  تعليق شعيب الأرنؤوط : حديث صحيح وهذا إسناد ضعيف لضعف علي بن زيد بن جدعان

C. Isi Kandungan Hadis
Hadis  tersebut dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik. Oleh karenanya banyak ulama yang menyatakan seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah atau presiden.  Sebagaimana diterangkan para ulama di kitab-kitab tafsir.
Misalnya dalam kitab tafsir al-Quran Ibn Kathir  sebagaimana berikut ini.
يقول تعالى: { الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ } أي: الرجل قَيّم على المرأة، أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجَّت { بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ } أي: لأن الرجال أفضل من النساء، والرجل خير من المرأة؛ ولهذَا كانت النبوة مختصة بالرجال وكذلك المُلْك الأعظم؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: "لن يُفلِح قومٌ وَلَّوا أمْرَهُم امرأة" رواه البخاري من حديث عبد الرحمن بن أبي بكرة، عن أبيه.

Juga dalam tafsir al-Qurtubi

روى البخاري من حديث ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم لما بلغه أن أهل فارس قد ملكوا بنت كسرى قال: " لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة " قال القاضى أبو بكر بن العربي: هذا نص في أن المرأة لا تكون خليفة ولا خلاف فيه

Dari kedua kitab tafsir di atas jelas sekali menggambarkan adanya beberapa kelebihan laki-laki atas perempuan. Karena kelebihan-kelebihan itulah sehingga secara otomatis hanya laki-laki yang berhak menjadi pemimpin atau presiden. Sedangkan perempuan tidak sah untuk menjabatnya.
Secara singkat dan konvensional dalam ilmu Hadis , kalau kita menguji keabsahan suatu Hadis , maka kita dapat mengajukan dua kritik yaitu kritik sanad (rawi/mata rantai pembawa Hadis ) dan kritik matan. Menurut hemat saya, kajian terhadap suatu Hadis  yang hanya berpegang pada kedua kritik tersebut belumlah cukup. Kajian Hadis  yang hanya berpegang pada kedua kritik ini akan menghasilkan pemahaman suatu Hadis  yang apa adanya arti Hadis  tersebut. Padahal di sisi lain perkembangan masyarakat di segala bidang terus melaju kencang. Bagaimana mungkin sesuatu yang diam bisa mengikuti yang terus bergerak.
Dalam kajian al-Quran salah hal yang harus diperhatikan untuk mendapat pesan yang sesungguhnya adalah dengan memperhatikan asba>bu al-nuzu>l ayat. Berdasarkan hal ini maka untuk mendapatkan pesan dari suatu teks Hadis  diperlukan satu kritik lagi, yaitu kritik historis, kita harus meneliti latar belakang politis orang yang membawakan Hadis  tersebut dan dalam kondisi masyarakat yang bagaimana ?. Bukankah kritik historis ini juga dibutuhkan  dalam kajian sejarah peradaban, mengapa dalam Hadis  tidak ?.
Akan tetapi realitasnya tetap saja sebaliknya, para ulama tersebut menanggapi Hadis  ini sebagai ketentuan yang bersifat baku dan universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan Hadis , seperti kapasitas diri Rasulullah SAW ketika mengucapkan Hadis , suasana yang melatarbelakangi munculnya Hadis , setting sosial yang melingkupi sebuah Hadis . Padahal, segi-segi ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pemahaman Hadis  secara utuh.
Ada satu hal yang sangat berpengaruh dalam kajian Hadis  tentang kebolehan kepemimpina politik bagi perembuan, yaitu perubahan politik. Menurut saya, wacana perempuan boleh atau tidak boleh menjadi presiden adalah bukan wacana teologis atau wacana syar’iyyah, itu hanya wacana politik. Kalau pun mereka yang anti kepemimpinan perempuan bisa maju menjadi “nomor satu”, itu demi kepentingan politik sesaat mereka saja. Hal ini membuktikan bahwa wacana politik selama ini telah mendominasi wacana keislaman kita. lalu apa bedanya dengan yang dilakukan Mu’tazilah pada masa Abasiyah.
Kedua hal tersebut di atas yang menurut saya menyebabkan kajian Hadis  tentang kebolehan perempuan menjadi presiden kurang akurat, yatu :
1.    Kajian Hadis  yang hanya didasarkan pada kritik sanad dan matan saja, tidak sampai pada kritik historisnya.
2.    kajian Hadis  yang diinterfensi oleh kepentingan politik tertentu.

D. Reinterpretasi Hadis  Kepemimpinan Perempuan

Jumhur ulama memahami Hadis  kepemimpinan politik bagi perempuan secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk Hadis  tersebut di atas pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa perempuan menurut syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, al-Khattabi misalnya, mengatakan hawa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.
Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan Hadis  tersebut berpendapat bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara.  Sementara itu, para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, al-Ghazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara.  Bahkan Sayyid Sabiq mensiyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada Hadis  tersebut sebelumnya.
Dalam memahami Hadis  tersebut, perlu dicermati terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat Hadis  itu disabdakan, atau dengan kata lain harus dilihat latar belakang munculnya Hadis  tersebut di samping juga setting sosial pada saat itu. Oleh karena itu dalam memahami dan mengkaji Hadis  ini mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya.
Sebenarnya jauh sebelum Hadis  tersebut muncul, yakni pada masa awal dakwa islamiah dilakukan oleh Rasulullah  SAW ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu, Rasulullah  SAW pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Rasulullah  SAW adalah Kisra Persia.
Kisah pengiriman surat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Rasulullah telah mengutus Abdullah ibn Huzaifah al-Shami untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan perintah dan pesan diterima oleh pembesar Bahrain.
Setelah membaca surat Rasulullah, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat tersebut kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Rasulullah  Muhammad, Kisra menolak dan bahkan merobek-robek Surat Rasulullah . Menurut riwayat ibn al-Musayyab setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah  kemudian Rasulullah  bersabda," Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu".
Tidak lama kemudian, kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai
pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat Raja. Hingga pada ahkhirya, diangkatlah seoerang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat oleh Rasulullah  SAW) sebagai ratu (Kisra) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepemimpinan. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi Raja Perempuan. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H.
Dari segi seting sosial dapat dikemukakan bahwa menurut tradisi yang berlangung di Persia sebelum itu, jabatan Kepala Negara atau Raja selalu dipegang oleh kaum laki-laki. Sedangkan yang terjadi pada tahun 9 H tersebut adalah menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai Raja bukanlah laki-laki lagi, melainkan perempuan.
Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-laki lah yang dipandang cakap dan mampu mengelola kepentingan masyarakat dan negara.
Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan setting sosial seperti itulah, wajar Rasulullah  SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan Hadis  bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera atau sukses.
Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan dihormati oleh masyarakat, mungkin Rasulullah  SAW yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik bagi perempuan.
Mencari petunjuk Hadis  dengan mengaitkan pada kapasitas Rasulullah  SAW saat menyabdakan Hadis , apakah sebagai seorang Rasul, Kepala Negara, Panglima Perang, Hakim, Tokoh Masyarakat atau seorang pribadi manusia biasa, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mendapatkan maksud Hadis  yang sesungguhnya atau paling tidak mendekatinya, sebagaimana yang dikatakan oleh
Mahmud Syaltut, “ Mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh Rasulullah  SAW dengan mengaitkannya pada fungsi Rasulullah  SAW ketika hal itu dilakukan, sangat besar manfaatnya.”
Berkaitan dengan Hadis  kepemimpinan politik bagi perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Rasulullah  SAW saat menyampaikan Hadis  tersebut bukan dalam kapasitas sebagai Rasulullah  dan Rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa pendapat Rasulullah  SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat Hadis  tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai kepemimpinan itu diserahkan kepada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dengan demikian, Hadis  tentang pernyataan Rasulullah  SAW dalam merespon berita pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara, namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Rasulullah  SAW yang memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Rasulullah  SAW tersebut merupakan do'a agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dikarenakan sikapnya menghina dan memusuhi Islam, sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Rasulullah  SAW oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Rasulullah  SAW yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.
Memaksakan Hadis  yang berbentuk ikhbar (informatif atau berita) ke dalam masalah syari'ah terutama masalah kepemimpinan politik bagi perempuan adalah tindakan yang kurang bijaksana dan kurang kritis serta tidak proporsional.
Selain itu, jika Hadis  tersebut dipahami sebagai pesan dan ketentuan dari Rasulullah  SAW yang mutlak mengenai syarat seorang pemimpin, maka akan terasa janggal, karena peristiwa sebagaimana yang ditunjukkan Hadis  tersebut tidak terjadi di dunia Islam (baca: negara Arab Islam), sehingga tidak mungkin Rasulullah  SAW menyatakan ketentuan suatu syarat bagi pemimpin negara muslim dengan menunjuk fakta yang terjadi di negara waktu masih non muslim.
Kalau Hadis  ini dipaksakan sebagai syarat bagi kepemimpinan politik, termasuk di negara non muslim, maka selain tidak rasional (karena Rasulullah  SAW ikut campur dalam urusan politik negara non muslim) juga tidak faktual. Artinya penetapan syarat pemimpin harus laki-laki, maka bagaimana dengan negara islam saat ini yang sebagian ada yang dipimpin oleh perempuan, namun tetap sukses Margaret Thatcher dari Inggris, Benazir Bhutto dari Pakistan, Aung San Suu Kyi dari Myanmar, Tjut Njak Dhien dari Aceh, Mooryati Soedibyo, Martha Tilaar, dan tentunya Megawati dari Indonesia. Semua adalah para wanita pemimpin yang telah menunjukkan prestasi di bidang yang mereka tekuni. Berarti sabda Rasulullah  SAW ini jelas bertentangan dengan fakta yang ada.
Bahkan dalam al-Qur`an pun dijumpai kisah tentang adanya seorang perempuan yang memimpin negara dan meraih sukses besar, yaitu Ratu Bilqis di negeri Saba’ sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Naml ayat 23:
           
23.  Sesungguhnya Aku menjumpai seorang wanita,   yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Analisis dan kesimpulan seperti ini juga diperkuat dengan tidak diketemukannya sebuah Hadis  pun yang secara jelas (eksplisit) mensyaratkan pemimpin negara harus laki-laki. Ini berarti Hadis  di atas harus dipahami secara kontekstual karena memiliki sifat temporal, yang terikat dengan waktu dan setting daerah tertentu. Sehingga tidak bisa mencakup untuk diberlakukan secara universal untuk seluruh wilayah dan sepanjang masa.
Hadis  tersebut di atas hanya mengungkap fakta tentang kondisi sosial pada saat Hadis  itu diucapkan oleh karena itu juga hanya berlaku untuk kasus negara Persia saat itu saja.













E. Kesimpulan

1.    Meskipun Hadis  larangan kepempimpinan politik bagi perempuan dinilai sahih, ternyata masih dapat didiskusikan.
2.    Di kalangan ulama ada yang tidak sepakat terhadap pemakaian Hadis  tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan politik. Tetapi banyak juga yang menggunakan Hadis  tersebut sebagai argumen untuk menggusur perempuan dari proses pengambilan keputusan (Pemimpin).
3.    Jika ditelaah lebih lanjut, maka Hadis  tersebut mengandung pengertian bayan al-waqi’ atau menungkapan fakta atau realitas yang berkembang pada saat itu, dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan syari’at bahwa syarat pemimpin harus laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar