Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-membuat-related-post-atau-artikel.html#ixzz2DaGDNTf9 Pandawa Putra: Ijtihad, Taqlid dan Talfiq Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/03/cara-memasang-meta-tag-keyword-dan.html#ixzz2D0LFOyez Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-mengubah-template-blogspot-menjadi.html#ixzz2DaHD0Dmv

Jumat, 20 Januari 2012

Ijtihad, Taqlid dan Talfiq

A.    Pendahuluan
Pada masa Nabi SAW, segala permasalahan bisa langsung ditanyakan kepada Beliau, namun sepeninggal Beliau, yang sekaligus menjadi tanda berakhirnya masa turunnya wahyu dan al-Sunnah, tidak ada  lagi rujukan utama kepada siapa para sahabat bertanya ketika menghadapi permasalahan. Hal ini menunjukkan berarti pula masa pentashari>'an. Sementara di sisi lain permasalah terus muncul dan menuntut penetapan hukum. Oleh karena itu, ijtihad para sahabat untuk menetapkan hukum suatu permasalahan menjadi mendesak untuk dilakukan.
Dalam kenyataannya tidak semua orang mampu memahami maqa>s}id al-shari>'ah yang terkandung dalam suatu nas}. Dalam hal ini, fuqaha' mempunyai peran yang sangat penting dalam merumuskan pedoman-pedoman untuk berijtihad, baik sebagai mujtahi>d fardi> (individu) ataupun ijma>i> (kolektiktif), termasuk merumuskan berbagai metode ijtihad.
Berdasar dari ulasan singkat di atas, ijtihad merupakan hal yang sangat menarik untuk dibahas. Ijtihad merupakan masalah yang selalu aktual dan tidak pernah pudar. Terlebih lagi banyak permasalahan baru sebagai implikasi dari modernisasi tidak hentinya muncul dan berkembang.

B.    Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa ijtiha>d berasal dari kata Ja>hada yang berarti " mencurahkan segala kemampuan" atau "menanggung beban berat atau kesulitan" . Misalnya seseorang yang berat badanya 60 kg diberi tugas untuk memindahkan batu yang beratnya 1 ton ke tempat lain. Kalau dengan mengandalkan tenaga badan saja, dapat dipastikan orang tersebut tidak akan mampu menanggung beban tersebut. Dalam melaksanakan tugas tersebut dia harus terlebih dahulu berpikir keras untuk menciptakan suatu alat atau metode tertentu sehingga beban berat tersebut menjadi terasa ringan. Sehingga menurut pengertian bahasa ini, tidak dikatakan ijtiha>d jika tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan.  Misalnya hanya memindahkan kapas yang beratnya 1 kg.
Adapun pengertian terminologis ijtihad sebagai berikut. Menurut sebagian besar ahli Us}u>l Fiqih merumuskan ijtihad sebagai upaya seorang mujtahi>d yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menetapkan hukum shara>' dengan cara memetik atau mengeluarkan dari sumber hukum ( mas}a>dir al-tashri>').
Ahli Us}u>l Fiqih menganggap bahwa ijtiha>d yang dilakukan Fuqaha' adalah ijtihad dalam bidang hukum yang bersifat 'amali (praktis), sedang ijtihad yang dilakukan oleh non-fuqaha' adalah ijtihad yang berhubungan dengan masalah teoritis yang secara tidak langsung menyangkut tingkah laku orang mukallaf.  Al-Shauka>ni> menyatakan bahwa ijtiha>d yang dilakukan oleh ahli ilmu kalam diakui sebagai mujtahi>d, namun hasil ijtiha>dnya dikelompokkan sebagai "al-Hukm al-'Ilmi ", bukan yang bersifat praktis ('amali)  
Menurut al-Ghaza>li>, ijtiha>d adalah:
بَذْلُ الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ بِاْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ
Artinya :"Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum shar'iy ".

Definisi dipertegas oleh Dr. Abdulkari>m Zaida>n yang merumuskan definisi ijtiha>d sebagai berikut :
أَاْلإِجْتِهَادُهُوَ بَذْلُ الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ بِاْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ
 Artinya :"Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum shar'iy  dengan cara istimba>t}". 
Para ahli us}u>l fiqih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terdapat dalam nas} atau yang terdapat dalam al-Qur'a>n dan al-Sunnah yang masuk kategori z}anni> al-dala>lah. 

C.    Hukum Melakukan Ijtiha>d
Menurut sebagian besar 'ulama>' ijtiha>d boleh dilakukan oleh mujtahi>d selama memenuhi ketentuan dan masalah yang dijtiha>di tidak terdapat dalam nas} baik al-Qur'a>n dan al-Sunnah.  Sebagaimana hadis tentang dialog Nabi SAW dengan sahabat Mu'a>dh ibn Jabal ketika diutus ke Yaman :
 ... أن النبي صلى الله عليه وسلم حين بعثه إلى اليمن,قال له: بم تحكم ؟  قال: بكتاب الله,قال ,فإن لم تجد ؟ قال:بسنة رسول الله,قال :فإن لم تجد, ؟قال:أجتهدرأيي ,فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم فى صدره وقال:ألحمدلله الذي وفق رسول رسول الله لمايرضى رسول الله

Artinya :"…Dengan apa kamu akan memutuskan hukum ? Mu'adz menjawab: "Dengan Kitab Allah", Jika tidak ada dalam Al-Qur'a>n ? Mu'adz menjawab :"Dengan Sunnah Rasulullah saw", Bagaiman jika tidak ada pada Sunnah Rasulullah saw dan juga tidak ada dalam Al-Qur'a>n ? Mu'adz menjawab :" Saya berijtihad dengan kekuatan akalku " mendengar jawaban itu Nabi bersabda:"Segala puji bagi Allah yang telah membuka hati utusan rasul-Nya." ( HR.Abu Daud )

Berdasar hadis di atas, jelas sekali bahwa ijtiha>d hukumnya boleh digunakan sebagai dasar hukum Islam setelah al-Qur'a>n dan al-Sunnah. Namun demikian, tidak berarti bahwa ijtiha>d boleh dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan terhadap semua masalah. Kaitannya dengan masalah tersebut hukum ijtiha>d menjadi: wajib, sunah, h}aram, makruh} dan mubah.

D.    Syarat-syarat dan Tingkatan Mujatahid
Ijtihad sebagai aktivitas nalar secara maksimal, seseorang mujtahid dituntut memiliki kapasitas ilmu yang memadai dalam beristinbat} hukum.
1.    Menguasai Bahasa Arab
'Ulama' Us}u>l Fiqih telah bersepakat bahwa, seorang mujtahi>d harus mengusai bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang terkait, seperti Nahwu, S{arf, Bala>ghah, Adab, Ma'a>ni>, Baya>n dan lain sebagainya.  Karena al-Qur'a>n diturunkan dalam bahasa Arab begitu juga al-Sunnah sebagai penjelas al-Qur'a>n tersusun dalam bahasa Arab.
Menurut Imam Ghaza>li> seorang mujtahi>d harus menguasai bahasa Ara>b, mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sha>rih, z}a>hir dan mujma>l, hakikat dan majaz, 'am dan kha>s}, muhkam dan mutasha>bih, mutlak dan muqayyat}.  Seorang mujtahi>d hendaknya jangan sampai tidak mengetahui rahasia-rahasia bahasa Arab secara umum, karena hukum-hukum yang menjadi sumber istimbat} tersimpan dalam kitab yang paling sempurna bahasanya dan paling tinggi balaghahnya.
2.    Mempunyai Pengetahuan yang memadai tentang al-Qur'a>n
Para 'Ulama' telah sepakat bahwa, seorang mujtahi>d harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang al-Qur'a>n dan ilmu-ilmu yang terkait. Mislanya, tentang 'a>mm (lafal umum ),kha>s} (lafal khusu ), mutlak, muqayya>d   (lafal yang terbatas ), mujmal(umum dan menyeluruh ), mubayyan (lafal yang jelas ), mantu>q (makna yang langsung dapat dipahami dari dalil ), mafhu>m (makna yang dipahami secara tersirat ),asba>b al-nuzu>l (sebab turunnya ayat ), serta nasi>kh (ayat yang membatalkan ayat sebelumnya), dan mansu>kh (ayat yang dibatalkan oleh ayat kemudian ).
Aswadie Syukur mengungkapkan bahwa seorang yang akan berijtiha>d harus memiliki pengetahuan yang luas tentang kandungan al-Qur'a>n sehingga ia dapat memahami hukum-hukum shara>' yang terkandung dalam al-Qur'a>n dan dapat mengambil hukum shara>' dari al-Qur'a>n. 
3.    Mengetahui Sunnah
Memiliki pengetahuan yang baik tentang Sunnah Rasulullah SAW., karena al-Sunnah atau al-Hadismerupakan penjelas (al-baya>n) dari al-Qur'a>n dan sumber hukum kedua setelah al-Qur'a>n. Pengetahuan atau ilmu yang berkaitan dengan al-Sunnah meliputi, ilmu H{adi>th Riwayah (ilmu yang mempelajari cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan atau pembukuan hadis), ilmu HadisDira>yah(ilmu yang mempeljari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadi>th, sifat-sifat rawi dan lain-lain), Jarh wa Ta'di>l, Asba>b al-Wu>ru>d dan ilmu lain yang terkait.   Di samping itu seorang mujtahi>d harus mengetahui nasakh dan mansukh dalam sunnah, 'a>mm dan kha>s}, mutlaq dan muqayyadnya, takhs}is} dari yang umum dan juga harus tahu kwalitas hadisatau al-Sunnah. 
4.    Mengetahui ijma' ( konsensus ) ulama' terdahulu
Seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk beluk ijmak serta persoalan-persoalan  yang telah disepakati hukumnya oleh ulama>'. Pengetahuan ini dimaksudkan agar seorang mujtahid tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum ijma' ulama>' terdahulu.
5.    Menguasai Ilmu Us}u>l Fiqih
Mengetahui ilmu Us}u>l Fiqih dan Qawa>'id al-Fiqhiyyah merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, karena ilmu ini merupakan dasar berijtiha>d.
6.    Mengetahui Qiyas 
Imam al-Shafi>'i> mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, seorang mujtahi>d harus mengetahui hukum-hukum asal yang ditetapkan berdasar nas} sebagai sumber hukum, yang memungkinkan seorang mujtahi>d untuk memilih hukum asal yang lebih dengan obyek yang menjadi sasaran ijtiha>dnya. Berkaitan dengan qiyas seorang mujtahi>d setidaknya mengetahui hal-hal berikut :
1)    Mengetahui seluruh nas} yang menjadi dasar hukum asal beserta 'illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu' (cabang ).
2)    Mengetahui aturan-aturan Qiyas dan batas-batasnya.
3)    Mengetahui metode yang digunakan oleh ulama' salaf yang s}a>hih dalam mengetahui 'illat-'illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqih .
7.    Mengetahui Maksud-Maksud Hukum
Para ulama' sepakat bahwa maqa>s}id al-shari>'ah atau tujuan shari'ah dapat memelihara kemaslahatan manusia sekaligus menghindari mafsadah baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut ada lima unsur pokok yang harus dipelihara yaitu h}ifz} al-di>n, h}ifz} al-nafs, h}ifz} al-'akl, h}ifz} al-nasl, dan h}ifz} al-ma>l. al-Shat}i>bi> membagi maqa>s}i>d al-shari>'ah ke dalam dua orientasi yaitu al-mas}a>lih al-dunya>wiyah  yakni tujuan shari>'ah yang berorientasi pada kemaslahatan dunia, dan al-mas}a>lih al-ukhra>wiyah yakni tujuan shari>'ah yang berorientasi kemaslahatan akhirat. Sementara shari>'ah dalam menetapkan hukum juga selalu memperhatikan tiga peringkat yang pengelompokannya berdasarkan pada tingkat kebutuhan, ketiganya adalah memelihara hal-hal yang bersifat da>ru>ri> ( harus ada ), lalu yang sifat h}ajji>  ( yang diperlukan manusia ), kemudian yang bersifat tah}sini> (untuk menyempurnakan agar lebih baik ).
Al-Juwayni> mengatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam sebelum ia memahami dengan benar tujuan Allah menetapkan perintah dan larangan-Nya.  Konsep Maqa>s}id al-Shari>'ah sangat penting untuk dikuasai seorang mujtahi>d sebagai upaya pengembangan hukum Islam, mengingat ayat-ayat dan hadi>th-hadisahka>m jumlahnya terbatas sementara permasalahan masyarakat selalu muncul. Dengan mengetahui maqa>s}i>d al-shari>'ah setiap permasalahan baru yang tidak disinggung dalam al-Qur'a>n maupun al-Sunnah akan dapat diselesaikan.

E.    Tingkatan Mujtahid
Jika ijtiha>d diartikan sebagai upaya seseorang untuk menggali hukum dari   al-Qur'a>n dan al-Sunnah , maka sebagai implikasinya adanya tingkatan para pelaku ijtiha>d ( mujtahi>d ). Hal ini wajar karena kemampuan para mujtahi>d memiliki perbedaan daya nalar dalam memahami makna tersirat dari nas} baik al-Qur'a>n maupun al-Sunnah . Para ulama' silang pendapat mengenai istilah tingkatan para mujtahi>d karena adanya perbedaan kriteria yang mereka gunakan untuk menentukan tingkatan para mujtahi>d.
Menurut sebagian besar ahli us}u>l fiqih terdapat tigaistilah umum tentang tingkatan mujtahi>d, yaitu : mujtahi>d, muttabi>' dan muqalli>d. Namun jiga banyak terdapat istilah lain yang sebenarnya substansinya sama.
Menurut Abu Zahrah, mujtahi>d atau orang yang melakukan ijtiha>d, diklasifikasikan menjadi enam tingkatan, yaitu :
a.    Ijtiha>d Mustaqi>l atau Mujtahi>d fi al-Shar'i>
Mujtahi>d Mustaqi>l (independen,mandiri ) merupakan tingkatan tertinggi, untuk mencapai tingkat ini harus memenuhi semua ketentuan sebagai mujtahi>d. Mujtahi>d tingkat ini mempunyai otoritas mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Qur'a>n dan Sunnah. Melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertibangan maslahah, menerapkan dalil istihsan dan berpendapat dengan dasar Shaddudh Dhara>'i' .  Mereka mampu merumuskan metodologi ijtiha>dnya sendiri dan menerapkannya pada masalah-masalah furu>'  (cabang). Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk kategori ini adalah para fuqa>ha' s}ahabat, tabi'in, seperti Sa'id ibn Muthayyab, Ibra>him an-Nakha>'i>, Ja'far al-S{a>diq, dan ayahnya Muhammad al-Ba>qi>r, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Shafi>'i>, Imam Ahmad, al-Auza>'i>, al-Laith ibn Sa'ad, Sufyan al-Thauri>, Abu Thaur dan masih banyak lagi. 
b.    Mujtahi>d Muntas}i>b
Mujtahi>d Muntasib adalah mujtahi>d yang mengambil atau memilih pendapat seorang imam dalam masalah yang bersifat mendasar atau us}u>l         (pokok) dan berbeda pendapat dalam masalah furu>' (cabang), meskipum secara umum ijtihadnya akan mengahsilkan kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad imamnya. Mujtahi>d Muntas}i>b ini tetap memiliki otoritas untuk mengkaji masalah furu'iyah ataupun berijtihad>d terhadap masalah yang belum pernah dijumpai oleh imamnya, karena pada dasar mujtahi>d muntasib hanya terikat pada metode atau sistem ijtihad imamnya. Hasil ijtiha>d mujtahi>d muntas}i>b ini boleh sependapat ataupun berlawanan.
Termasuk mujtahi>d muntas}i>b ini, misalnya Imam Zufa>r, Abu Yusuf, dan Muhammad. Mereka secara us}u>l dan sistem ijtiha>d terikat pada Imam Abu Hanifah, namun mereka memiliki ketetapan hukum furu>' yang berbeda dari gurunya.  Mereka hanya t}ari>qah atau metode Abu Hanifah dalam berijtiha>d. Wajar jika mereka kemudian sejalan atau berlawan dengan pendapat gurunya dalam masalah-masalah tertentu.
c.    Mujtahi>d Fi al-Madhhab
Mujtahi>d Madhhab mujtahid yang mengikuti pendapat imam madhhab, baik dalam masalah prinsip atau us}u>l maupun furu>'. Usahanya hanya terbatas dalam masalah istimbat} atau menyimpulkan hukum terhadap masalah-masalah yang belum ditemui hukumnya oleh imam madhhab.
Menurut madhhab Maliky, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madhhab. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan illat-illat fiqhy yang telah digali oleh para pendahulunya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai di masa lampau. Mujtahid tingkat ini tidak boleh melakukan ijtihad terhadap maalah yang telah ada ketetapan hukum di dalam madhhabnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Misal,dalam hal istimbat} ulama' terdahulu (sabiqun ) didasarkan pada pertimbangan yang sudah tidak relevan dengan kondisi ulama' mutaakhirin , tentunya ulama' terdahulu akan mencabut pendapatnya.
Tingkatan inilah yang melahirkan al-Fiqh al-Madhha>bi> ( aliran fiqih ) dan meletakkan asas-asas bagi perkembangan madhhab-madhhab, serta mengeluarkan ketentuan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip dari madhhab tersebut. Mujtahid tingkatan ini pula yang meletakkan asas-asas tarjih dan muqayasah (perbandingan) di antara pendapat ulama' guna menilai s}ahih atau da>'ifnya suatu pendapat.
d.    Mujtahi>d Mura>jih
Mujtahi>d Mura>jih yaitu tingkatan mujtahid yang hanya mentarjih atau mencari pendapat imam madhhab yang lebih kuat dengan menggunakan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada tingkat di atasnya.
Mereka mentarjih suatu pendapat atas pendapat lain karena dipandang kuat dalilnya atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu atau karena alasan lain, sepanjang tidak termasuk istimbat baru yang independen ataupun mengikuti metode istimbat imamnya.
e.    Mujtahi>d Muha>fi>z}
 Pada dasarnya Mujtahi>d Muha>fi>z ini tergolong pada muqallid, hanya saja mereka mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama' terdahulu. Mereka mampu membedakan antara antara pendapat terkuat, yang kuat, dan da>'if, riwayat yang z}a>hir, madhhab yang z}a>hir, riwayat yang nadir (langka).
Mujtahid muha>fiz} mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa sebagaiman ulama' pada tingkatan di atasnya, akan tetapi pada lingkup terbatas. Mereka bukannya melakukan tarjih, akan tetapi hanya menilai urutan atau tingkatan tarjih sesuai dengan hasil tarjih dari para mura>jih. Mereka dapat menentukan salah satu pendapat mura>jih yang paling kuat dari segi tarjihnya dan paling banyak berpegang atau mengambil pendapat mura>jih yang paling banyak menggunakan hujjah dalam madhhabnya dibanding mura>jih lainnya.   
f.    Muqalli>d
Muqalli>d yaitu ulama' yang hanya sanggup memahami pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih karena tingkat keilmuwannya belum cukup mendukung untuk bisa mentarjih pendapat mujtahi>d mura>jih dan menentukan tingkatan tarjih.
Para muqallid hanya menerima pendapat fuqa>ha' apa adanya tanpa berusaha mengetahui dalil dari pendapat yang diterimanya. Mereka cukup mengatakan, di sana terdapat qaul ( pendapat ) begini. Mereka sering mengambil pendapat tanpa melihat siapa yang berpendapat dan bobot pendapatnya, bahkan meski tidak berpegang pada dalil yang jelas atau pemikiran yang unggul. Kemudian mereka menyebarluaskan pendapat itu.

F.    Metode Ijtihad
Metode dapat dipahami sebagai suatu cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai suatu tujuan atau maksud tertentu. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa metode ijtihad adalah cara yang digunakan mujtahid dalam istimbat} hukum dari   al-Qur'a>n dan al-Sunnah.
Sebagaiman telah dimaklumi bahwa al-Qur'a>n dan al-Sunnah adalah sumber hukum yang utama dalam Islam. Keduanya telah terhenti semenjak Nabi SAW wafat, karena beliau sebagai nabi terakhir. Akan tetapi pemahaman (istimba>t} ) terhadap keduanya tidak boleh terhenti. Untuk itu perlu adanya metode-metode pemahaman atau istimbat hukum dari keduanya. Kaitannya dengan hal tersebut A. Djazuli menyatakan bahwa seorang mujtahid dapat menggunakan beberapa metode ijtiha>d, yaitu qiyas,mas}lahah mursalah, istih}sa>n, 'urf  dan metode yang berpijak pada kaidah-kaidah fiqih.
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam al-Qur'a>n dan al-Sunnah karena illat sama. Misalnya hukum minum bir sama dengan hukum minum khamr, yaitu haram, karena ilat keduanya sama-sama memabukkan.
Istih}san adalah mengecualikan hukum suatu masalah dari hukum maslah lain yang sejenis dan kemudian menetapkan hukum yang lain karena adanya alasan yang kuat bagi pengecualian itu. Ada dua jenis istih}san, yaitu istih}san qiyasi istih}san dan darurah . Istih}san qiyas atau istih}san khafi adalah mengecualikan hukum suatu masalah yang telah ditetapkan dengan qiyas dan mencari qiyas yang lebih kuat atau yang paling kuat di antara beberapa qiyas yang bertentangan dalam suatu masalah. Sedang istih}san darurh adalah membuat hukum yang menyimpang dari ketentuan karena darurat. Hal ini dimungkinkan apabila penerapan hukum yang ditetapkan secara qiyas akan menimbulkan kesulitan. 
Al-Mas}lahah al-Mursalah adalah cara menetapkan hukum suatu masalah yang tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur'a>n dan al-Sunnah. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek mas}lahah secara langsung. Dalam ilmu Us}u>l Fiqih dikenal tiga mas}lahah , yaitu mas}lahah mu'taba>rah, mas}lahah mulghah dan mas}lahah mursa>lah. Maslahah yang pertama merupakan maslahah uang diungkapkan secara langsung baik dalam al-Qur'a>n dan al-Sunnnah. Sedang mas}lahah yang kedua adalah maslahah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam keduanya. Di antara kedua mas}lahah tersebut ada maslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan juga tidak bertentangan dengan keduanya. Namun demikian, ada beberapa syarat dalam mas}lah}ah mursalah, yaitu pertama harus ma'qul (reasonable) dan muna>sib (relevan). Kedua bersifat memelihara sesuatu dalam rangka menghilangkan musyaqqat dan mudorot. Ketiga,harus sesuai dengan maqa>shidu al-shari>'ah dan tidak bertentangan dengan dalil shara>' yang qat}'i>.
Sementara menurut Muhammad Salam Madhku>r, bahwa bentuk metode yang digunakan bergantung pada landasan yang digunakan dalam berijtiha>d  atau beristimba>t. Karena berdasar penelusurannya terhadap ijtiha>d para sahabat Nabi terdapat tiga model ijtiha>d, yaitu ijtiha>d baya>ni>, ijtiha>d qiya>si>, dan istis}lahi .
Ijtiha>d Baya>ni> adalah yang berusaha menjelaskan makna-makna nas} yang memerlukan keelasan (mujma>l), baik karena belum jelas makna lafaz} yang dimaksud ataupun karena lafaz} itu mengandung makna ganda dan persoalan lafaz} lainnya, seperti khas, 'amm, mujmal, mushtara>k, muawwal, z}a>hir, nas}, mufassar, muh}ka>m, kha>fi>, mushkil, haki>kat, majaz, s}a>rih dan analisa dilalahnya.
Ijtiha>d Qiya>si> yaitu ijtihad yang berusaha menyeberangkan hukum yang telah ada ketentuan nas}nya pada masalah-masalah baru yang belumada hukumnya karena ada kesamaan illat hukum. Ijtihad ini menggunakan metode qiyas bahkan istih}san.
Ijtiha>d Istis}la>hi> adalah ijtihadterhadap masalah-masalah yang tidak ditunjukkan hukumnya secara eksplisit dalam al-Qur'a>n dan al-Sunnah. Dalam masalah ini, penetapan hukum dilakukan berdasarkan pada pendekatan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum.
BAB II
TAQLID
A. Pengantar
Semboyan “Pintu Ijtihad Telah Tertutup” merupakan jargon yang menjadi wacana publik dan bahkan telah menjadi keyakinan bagi kebanyakan kaum muslimin sejak masa pertengahan islam dan masih berkembang, juga diyakini oleh sebagian masyarakat hingga kini. Namun sampai kini tidak diketahui mulai kapan dan siapa yang menfatwakannya.
Keyakinan di atas mempunyai implikasi yang sangat besar bagi perkembangan dan gairah intelektual di kalangan umat islam. Bahkan lebih jauh keyakinan di atas memberikan implikasi pada kebekuan dan terkotak-kotaknya pemeluk islam ke dalam berbagai madzhab yang sempit.
Seiring dengan keyakinan tersebut maka berkembanglah taqlid di kalangan umat islam. Taqlid sebagi konsekuensi dari tertutupnya pintu ijtihad. Perkembangan taqlid dapat dirunut awal mulanya sejak terhentinya gairah ijtihad di kalangan umat islam.
Taqlid mulai muncul dan berkembang di kalangan umat islam sejak awal abad IV H. Kemunculan taqlid sebagaimana digambarkan oleh al-Shauqani yang dikutib oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut, “ Sesungguhnya taqlid ini tidak terjadi di kalangan umat islam setelah kurun pertama yang terbaik, kemudian kurun berikutnya, dan kurun berikutnya lagi. Sesungguhnya kemunculan bermadzhab dengan madzhab-madzhab Imam empat baru tiadanya para imam yang empat”.
Dalam perjalanan kesejarahannya, taqlid selalu mendapat respon dan tantangan dari beberapa ulama islam. Penentangan terhadap taqlid ini seiring dengan keyakinan bagi sebagian ulama akan tetap terbukanya untuk berijtihad bagi umat islam, Kelompok ulama ini menolak keyakinan tertutupnya pintu ijtihad. Diantara penentang keras taqlid adalah Ibnu Taimiyah.
Konsep taqlid ini sampai sekarang tetap menjadi wacana ikhtilaf di kalangan ulama. Sebagaian ulama menerimanya dan sebagian lainnya menolaknya, tetunya dengan argumentasi mereka masing-masing.

B. Pengertian Taqlid
Taqlid secara bahasa adalah mengalungkan tali pada tengkuk, sebagaimana mengalungkan tali pada hewan.  Dari makna taqlid secara bahasa ini tercermin bahwa taqlid apabila dikategorikan untuk manusia maka mempunyai konotasi negative. Karena hewan yang dikalungi tali akan mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh tuannya. Oleh karena itu, menurut pandangan Ibnu Hazm dari pengertian secara bahasa yang memiliki makna konoatasi negative ini, sejak awal sudah menunjukkan bahwa tidak terpujinya prilaku taqlid tersebut.
Adapun pengertian terminologis taqlid, para ulama memberikan pengertian yang bermacam-macam. Misalnya Salam Madzkur memberikan pengertian bahwa taqlid adalah mengambil sesuatu dari orang lain yang perkataannya itu bukan termasuk hujjah syar’iyah, seperti mengambil fatwa dari orang awam, atau seorang mujtahid yang mengambil fatwa dari mujtahid lainnya tanpa memperhatikan dalil yang menjadi landasannya.  Jadi orang awam yang mengambil pendapat mujtahid tidak termasuk taqlid.
Sedangkan menurut al-Subki taqlid adalah mengikuti pendapat orang yang ketaatannya kepada orang tersebut bukan termasuk hujjah dan pendapat tersebut tidak berdasarkan pada ilmu.  Pengertian inisecara redaksional memang berbeda dengan yang dikemukakan sebelumnya, namun secara esensial adalah sama di mana orang awam yang mengikuti pendapat mujtahid tidak termasuk kategori taqlid, karena memang ada kewajiban bagi orang awam untuk bertanya kepada mujtahid.
Adapun al-Ghazali memberikan pengertian taqlid dengan mengabulkan pendapat orang lain tanpa hujjah, tidak ada jalan yang menujukkan pada ilmu baik dalam usul maupun furu’.  Sedangkan menurut al-Shauqani taqlid adalah mengamalkan pendapat orang lain tanpa hujjah.
Dari kedua pendapat yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan al-Shakani tersebut di atas, mereka sama-sama menegaskan dengan ketidakadaan hujjah atau alasan yang membenarkan untuk taqlid. Misalnya bagi orang awam yang mengikuti pendapat mujtahid bukanlah talqid karena ada dalil yang mengharuskan bagi orang awam untuk bertanya kepada mujtahid. Ia tidak boleh melakukan ijtihad sendiri karena tidak mampu atau tidak memenuhi persyaratannya.
Pengertian lainnya yang memiliki kecenderungan berbeda dengan pengertian-pengertian sebelumnya adalah yang diberikan oleh Ibn Hazm. Dalam pandangan Beliau mengikuti  orang yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT adalah tidak boleh, yang boleh diikuti secara tegas dibatasi hanyalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya adalah dalam rangka merealisasikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya  tersebut. Dari pandangan Ibn Hazm mengenai taqlid seperti ini, jelas sekali tergambar bahwa Ibn Hazm menolak dengan tegas semua bentuk taqlid.
Ada satu lagi pengertian taqlid yang berada dalam posisi netral, yaitu yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili  yaitu mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.  Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut muqallid.

C. Hukum Taqlid
Dari paparan pengertian taqlid yang diberikan oleh para ulama di atas menunjukkan bahwa pandangan ulama mengenai kebolehan taqlid sangat beragam, bahkan ada juga yang bertolak belakang dengan menolaknya secara tegas.
Diantara Ulama yang dengan tegas menolak taqlid dalam bentuk apapun adalah Ibn Hazm, sehingga Ia mengatakan bahwasannya taqlid itu haram hukumnya, dan tidak diperkenankan mengambil perkataan kecuali kepada Allah dan Rasulullah SAW. Pendapat ini di dasarkan pada firman Allah
             •  
3.  Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya . amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).

Keharaman taqlid dalam pandangan Ibn Hazm tersebut juga berlaku bagi orang awam.  Kelompok lain yang mewajibkan ijtihad dan melarang taqlid adalah kaum Dlahiriyah, Mu’tazilah Baghdad.
Kelompok kedua adalah yang menolak ijtihad dan mengharuskan taqlid. Mereka adalah dari Hashawiyah dan al-Ta’limiyah. Menurut pandangan kelompok ini cara untuk mengetahui yang benar adalah dengan taqlid, oleh karena itu taqlid hukum wajib dan melakukan penalaran menjadi haram. Mereka melarang ijtihad  dengan berpedoman pada firman Allah dalam surat al-Mukmin ayat 4 sebagai berikut :
             
4.  Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.

Mereka juga berpegang pada firman Allah surat al-Zuhruf ayat 58 sebagai beikut :
                
58.  Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?" mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.

Kemudian argumentasi dari kelompok pro taqlid di atas dibantah oleh kelompok anti taqlid, bahwa ja>dal  yang dilarang adalah yang batil, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 125 sebagai berikut :
             •     •       

125.  Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah,  dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Bantahan mereka juga menggunakan dasar firman Allah surat al-Ankabut ayat 46 sebagai berikut :
              •            
46.  Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka , dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri".

Mereka juga berpedoman pada firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 191 sebagai berikut :
                    • 
191.  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Adapun pendapat yang ketiga adalah pendapat dengan merinci taqlid pada beberapa bentuk dengan hukumnya masing-masing. Pendapat ketiga ini adalah yang paling banyak diikuti oleh para ulama. Mereka merinci taqlid menjadi dua bagian, yaitu :
1.    Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang qat}’i, misalnya dasar-dasar mengetahui Allah SWT, sifat-sifatNya, dalil-dalil tentang kenabian, mengenai akhlaq, serta segala sesuatu yang dapat diketahui dengan cepat tentang hukum-hukum taklif, baik mengenai ibadat, mu’amalat, ‘uqubat, dan hal-hal yang diharamkan, ini semua disebut sebagai `al-ma’lu>m min al-di>n bi al-dharurah. Contohnya ialah hukum tentang kewajipan sembahyang lima waktu, kewajipan puasa bulan ramadhan, bilangan rakaat dalam sembahyang, keharaman riba dan zina, kehalalan nikah dan jual beli, dan lain sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat Islam. Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian terhadap dalil-dalilnya. 
Terhadap maslaah seperti ini, seseorang itu tidak dibenarkan bertaqlid, kerana semua orang dapat mengetahuinya.
2.    Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali. Seperti masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabi, apakah batal wudlu atau tidak ? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori furu’. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dalam al-Quran, akan tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui, apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian terhadap masalah seperti ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Orang yang berusaha meneliti dalil-dalil, kemudian mengeluarkan hukum dari dalil yang bersangkutan dinamakan sebagai mujtahid. Mereka ini seperti Imam ,Malik, Hanafi, Syafi’i, Hanbali dll. Manakala mereka yang mengikutinya atau memakai hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid disebut sebagai muqallid. Adapun perbuatan mengikuti atau memakai hukum berkenaan disebut sebagai bertaklid.
Dalam masalah seperti inilah yang dibenarkan bertaklid. Kebanyakkan ulama  Usul Fiqh mengatakan bahawa mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad karena memiliki keilmuan yang cukup maka wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau fatwa dari para mujtahid. Adanya kebolehan bagi orang awam untuk tidak melakuakan ijtihad sendiri, dan wajib mengambil atau mengikuti  pendapat atau fatwa dari mujtahid adalah dengan dasar-dasar sebagai berikut :
1)    Berdasarkan firman Allah salam surat al-Nahl ayat 43 berikut ini :
                
43.  Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan   jika kamu tidak mengetahui;

2)    Ijma’ ulama bahwasannya orang awam itu juga terkena hukum taklif, namun mustahil keseluruhan umat islam mencapai derajat mujtahid. Oleh karena itu sudah sewajarnya mereka itu diharuskan meminta pendapat atau fatwa kepada mujtahid.
3)    Menurut al-Ghazali mengikuti  fatwa ulama itu tidak termasuk taqlid karena termasuk mengikuti  hujjah.
Apabila di tempat tinggal Si awam tersebut terdapat seorang mujtahid maka ia wajib meminta pendapat kepadanya. Akan tetapi jika terdapat lebih dari satu mujtahid maka ada kewenangan untuk memilih salah satunya tanpa ada prioritas pada seperti pada masa Sahabat Besar seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.

D. Taqlidnya Mujtahid
Tentang diperbolehkannya taqlid bagi seseorang yang sebenarnya mencapai derajad mujtahid ini menjadi ikhtilaf di kalangan ulama. Namun Menurut al-Shafi’i dalam qaul qadimnya membolehkan taqlid kepada pendapat para sahabat. Muhammad bin Hasan membolehkan orang alim untuk taqlid kepada orang lain yang lebih alim. Sedangkan menurut Ibn Suraij hal tersebut boleh akan tetapi terbatas untuk digunakan sendiri bukan untuk difatwakan lagi kepada orang lain, karena jika berijtihad sendiri akan kehabisan waktu. 

E. Bahaya Taqlid
Di antara bahaya taqlid yang adalah :
1.    Menghalangi pelakunya untuk menerima pendapat yang datangnya dari madzhab lain.
2.    Memperuncing perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat, karena masing-masing pihak mendahulukan pendapat imam madzhab mereka terhadap ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, yang kita diperintah untuk berpegang dengan keduanya dan mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada keduanya. Sebagaimana firman Allah

                              
59.  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

3.    Sikap taqlid dengan mendahulukan pendapat seseorang daripada perkataan Allah dan Rasul-Nya, merupakan sebab datangnya adzab dan tersebarnya fitnah, sebagaimana Allah berfirman
                             
63.  Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

4.    Sikap taqlid ini akan mengantarkan pelakunya kepada penyesalan yang tak kunjung usai di hari kiamat, karena para pemimpin atau nenek moyang (pendahulu) yang dipanuti secara taqlid akan berlepas diri dari para pengikut mereka. Sebagaimana firman Allah

     •         •         •             •  .
166.  (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
167.  Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.

Dan juga firman Allah

                               •                            •           •                                
31.  Dan orang-orang kafir berkata: "Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al Quran Ini dan tidak (pula) kepada Kitab yang sebelumnya". dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari mereka menghadap kan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah Berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Kalau tidaklah Karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman".
32.  Orang-orang yang menyombongkan diri Berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah: "Kamikah yang Telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu? (Tidak), Sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa".
33.  Dan orang-orang yang dianggap lemah Berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "(Tidak) Sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya". kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang Telah mereka kerjakan.
34.  Dan kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyalpaikannya".























BAB III
TALFIQ

A. Sejarah Singkat Talfiq
Pada bagian sebelumnya sudah disampaikan tentang bahaya taqlid yang berlebih-lebihan. Istilah talfiq mulai muncul pada abad XVII M atau 11 H. Talfiq ini muncul karena ta’assub madzhab yang berlebih-lebihan, bahkan pada masa itu terjadi saling mengkafirkan diantara pengikut madzhab. Mereka melarang seseorang yang telah mengikuti madzhab tertentu untuk pindah ke madzhab lain.
Di dalam sebagian kitab Hanafiyah terdapat pertanyaan: Bolehkan wanita Hanafiyah menikah dengan laki-laki Syafi'iyah? Dan jawabnya adalah tidak boleh. Karena Hanifiyah meragukan iman orang-orang Syafi'iyah. Kaum Muslimin di negara-negara telah mengamalkan fatwa ini bertahun-tahun, yang penduduknya tidak membolehkan anak-anak wanita mereka menikah dengan laki-laki Syafi'iyah.
Pernyataan, “Imamku-lah yang paling benar!”, Ungkapan-ungkapan seperti ini sering disampaikan oleh masing-masing pengikut. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme madzhab, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan pria dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang menimpa Iblis durjana, makhluk pertama yang mendurhakai Allah ?, disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur asal dia diciptakan. Allah, yang menurutnya lebih baik.

B. Pengertian Talfiq
kata talfi>q merupakan isim masdar dari laffaqa yulaffiqu talfi>qan yang berarti mempertemukan atau menggabungkan dua sisi.  Sedangkan menurut istilah adalah melakuakan suatu cara (kaifiyya>t) yang tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, artinya melakukakan suatu amalan (qadliyya>t) yang memiliki beberapa rukun (juziyya>t) dengan berpedoman pada dua atau lebih pendapat mujtahid atau madzhab, sehingga akhirnya sampai pada  hakekat yang tidak ditetapkan oleh kedua atau lebih dari mujtahid tersebut. Amalan tersebut menjadi batal kalau menurut pendapat mujtahid asalnya.
Untuk mempermudah pemahaman kita marilah kita perhatikan contoh berikut ini. Seseorang yang mengikuti  madzhab al-Shafi’i, ia berwudlu dengan mengusap kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit secara langsung dengan ajnabiyya>t, kemudian ia terus melaksanakan sholat dengn mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa bersentuhan tersebut tidak membatalkan wudlu.
Dalam contoh di atas, tata cara wudlu dan sholat sebagaimana yang dilaksanakan tersebut tidak disampaikan oleh para mujtahid. Menurut al-Shafi’i sholatnya batal karena telah bersentuhan dengan ajnabiyya>t, menurut imam Abu Hanifah wudlu tidak sah karena belum mengusap seperempat kepala, dan menurut imam Malik wudlunya juga tidak sah karena tidak mengusap seluruh bagian kepala dan tidak menggosok anggota wudlunya.
Para ulama berbeda pendapat  mengenai boleh atau tidaknya seseorang melakukan talfiq ini. Perbedaan ini bersumber dari masalah boleh atau tidaknya seseorang pindah madzhab. Apabila seseorang telah mengikuti  atau bertaqlid kepada salah satu madzhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab yang diikutinya tersebut, yang berarti tidak boleh pindah ke madzhab lain, ataukah ia tetap tidak terikat, sehingga ia boleh mengikuti  atau pindah ke madzhab lainnya. Mengenai hal ini pendapat ulama terbagai menjadi tiga, sebagaimana disampaikan Ibrahim Hosen sebagai berikut  :
1.    Apabila seseorang telah mengikuti  salah satu madzhab maka ia harus terikat dengan madzhabnya tersebut. Baginya tidak boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Menurut pendapat kelompok ini, tidak membenarkan talfiq, dipelopori oleh Imam Qaffal.
2.    Seseorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja pindah ke madzhab lain dengan catatan tidak dalam satu ketetapan (qadliyya>t). Dimana Imam yang pertama dan Imam kedua sama-sama berpendapat batal. Pendapat kedua ini membolehkan talfiq dengan motivasi mencari kemudahan dengan ketentutan tidak terjadi dalam satu (qadliyya>t). Pendapat kedua ini dipelopori oleh al-Qarrafi.
3.    Seseorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja pindah ke madzhab lainnya. Tidak ada larangan baginya meskipun terjadi dalam satu (qadliyya>t)  dan mencari kemudahan. Pendapat ketiga ini dengan jelas memperbolehkan talfiq yang dipelopori oleh al-Kamal ibn Hammam.
Dari ketiga pendapat di atas menurut pemakalah yang paling kuat adalah pendapat ketiga dengan alasan sebagai berikut :
1.    Tidak adanya nash di dalam Al-Quran atau pun al-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat nabi SAW terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama. Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain. Begitu juga para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya. Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?
2.    Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa membedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas Syariah jurusan Perbandingan Mazhab atau melanjutkan ke Pascasarjana. Betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandigkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan.  Sehingga secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan taliq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
3.    Alasan ini semakin menguatkan pendapat bahwa talfiq itu boleh dilakukan. Karena yang membolehkannya justru nabi Muhammad SAW sendiri secara langsung. Maka kalau nabi saja membolehkan, lalu mengapa harus ada larangan? Nabi SAW lewat Aisyah disebutkan: Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.
Jika ada dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi SAW selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan. Itu nabi Muhammad SAW sendiri, seorang nabi utusan Allah. Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?
4.    Melakukan talfiq adalah hal yang termudah saat ini, ketimbang harus selalu berpedang kepada satu mazhab saja. Mengingat hari ini tidak ada guru atau ustadz yang mengajar fiqih di bawah satu mazhab saja dalam segala sesuatunya. Kitab-kitab fiqih Syafi'iyah di Indonesia memang banyak beredar, namun dari semua kitab itu, nyaris tidak ada satu pun yang menjawab semua masalah lewat pendapat al-Syafi'i. Ada begitu banyak masalah yang tidak dibahas di dalam kitab-kitak kuning itu dan tetap butuh jawaban. Maka para kiyai sepuh yang biasanya selalu merujuk kepada kitab mazhab Syafi''i, terpaksa harus membuka kitab lainnya. Dan saat itu, beliau telah melakukan talfiq. Bahkan hasil-hasil sidang Lajnah Bahtsul Matsail di kalangan Nahdlatul Ulama pun, yang konon sangat Syafi'i, tidak lepas dari merujuk kepada kitab-kitab di luar mazhab Syafi'i. Oleh karena itu maka sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahwa kita diperintahkan untuk memilih sesuatu yang termudah, maka saat ini yang lebih mudah justru melakukan talfiq.












BAB IV
Kesimpulan
1.    Ijtiha>d merupakan aktifitas yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli fiqih yang menggunakan segenap kemampuannya menggali hukum-hukum furu>' 'amaliyah dengan menggunakan dalil-dalil yang terperinci.
2.    Status hukum shar'i> yang dihasilkan oleh ijtihad adalah z}anni>.
3.    Taqlid secara bahasa adalah mengalungkan tali pada tengkuk, sebagaimana mengalungkan tali pada hewan, sehingga kalau dinisbatkan kepada manusia maka memiliki arti negatif.
4.    Taqlid secara terminologis, mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujahnya. Orang seperti ini disebut muqallid.
5.    Pandangan ulama mengenai kebolehan taqlid sangat beragam, ada yang setuju, namun juga ada yang menolaknya dengan tegas.
6.    Talfi>q berarti mempertemukan atau menggabungkan dua sisi,  Sedangkan menurut istilah adalah melakuakan suatu cara (kaifiyya>t) yang tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, artinya melakukakan suatu amalan (qadliyya>t) yang memiliki beberapa rukun (juziyya>t) dengan berpedoman pada dua atau lebih pendapat mujtahid atau madzhab, sehingga akhirnya sampai pada  hakekat yang tidak ditetapkan oleh kedua atau lebih dari mujtahid tersebut. Amalan tersebut menjadi batal kalau menurut pendapat asalnya.









DAFTAR PUSTAKA

Fazlurrahman. Islamic Methodology in History. Islamabad: Islamic Research Institute, 1984.
al-Zuhaili, Wahbah. Us}ul al-Fiqh al-Isla>miy. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
al-Dlohiri, Ibn Hazm. al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Madzkur,  Muhammad Salam. Us}ul al-Fiqh al-Isla>miy. Kairo: Dar Nahdlah Arabiyah, 1976.
al-Subki, al-Ibhaj fi  Sharh al-Minhaj ‘ala Minhaj al-Wusul ila ‘Ilm al-Usul li al-Qadli al-Baidlawy. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995.
Al-Ghazali, al-Muwaffaqa>t fi ‘Ilm al-Us}u>l. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
Al-Shaqani, Irshad al-Fuhul ila> Tahfi>f al-Haq Min ‘Ilm al-Us}u>l. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
 Al-Ra>zy, al-Mahs}u>l fi ‘Ilm al-Us}u>l. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.
Hosen, Ibrahim. Taqlid dan Ijtihad Beberapa Pengertian Dasar dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995.
al-Zuhaily. Wahba. al-Wasi>t} fi Us}u>l al-Fiq. Dimashqy : al-Mat}ba'a al-'Ilmiyyah,1969.
Zaida>n, Abdulkari>m. Al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqhiyyah. Beirut : Muassasah al-Risa>lah, 1994.
Abu Zahrah,Usu>l al-Fiqh. tt :Dar al-Fikr al-'Arabi>,tth.
al-Ji>za<ni>, Muhammad bin Husayn bin H{asan. Us}u>l al-Fiqh 'Inda Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>'ah. Jiddah : Da>r Ibnu al-Jauziyah, 1998.
Dahlan, H.Abdul Aziz (et.al). Ensiklopedi Hukum Islam,Volume 2. Jakarta : PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.
 Al-Juwayni. al-Burh}a>n fi Us}u>l al-Fiqh ,Vol,1. Kairo : Da>r al-Ans}a>r. 1400 H.
Azra, Azyumardy. Ensiklopedi Hukum Islam,Volume 3. Jakarta : PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar